Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai vaksin AstraZeneca ramai diperbincangkan terkait kandungan unsur tripsin babi dalam proses pembuatannya. Meski ada polemik, mayoritas masyarakat masih berminat terhadap vaksin COVID-19 asal Inggris tersebut.
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) melakukan survei soal kehalalan vaksin AstraZeneca. Ada 1.401 responden yang disurvei lewat metode wawancara tatap muka pada 23-26 Maret 2021.
Margin of error survei diperkirakan sekitar 2,7% pada tingkat kepercayaan 95%, asumsi simple random sampling. Kurang dari 40% responden pernah mendengar vaksin AstraZeneca.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada sekitar 38% warga secara nasional yang tahu Vaksin AstraZeneca-Oxford. Dari yang tahu, 55% pernah mendengar MUI menyatakan vaksin itu haram, namun boleh digunakan. Dan dari yang pernah mendengar MUI menyatakan haram, yang bersedia divaksin dengan AstraZeneca-Oxford 53%, 34% tidak bersedia, dan 14% tidak menjawab," demikian keterangan dari survei SMRC seperti dilihat, Senin (29/3/2021).
SMRC menyatakan minat warga untuk melakukan vaksinasi dengan AstraZeneca-Oxford ini (53%) relatif lebih rendah dibanding minat terhadap vaksinasi secara umum (62%). Namun mayoritas warga masih bersedia divaksin AstraZeneca. SMRC juga menanyakan kehalalan vaksin AstraZeneca kepada responden muslim.
"Khusus pada warga muslim, ada 36% dari warga Muslim yang tahu Vaksin AstraZeneca-Oxford. Dari jumlah tersebut, 53% pernah mendengar MUI menyatakan vaksin itu haram, namun boleh digunakan. Dan dari yang pernah mendengar MUI menyatakan haram, yang bersedia divaksin dengan AstraZeneca-Oxford 52%, 40% tidak bersedia, dan 8% tidak menjawab," katanya.
SMRC menilai pernyataan MUI berdampak terhadap minat masyarakat terhadap vaksin AstraZeneca.
"Dengan kata lain, pernyataan MUI tentang status haram vaksin AstraZeneca, cenderung menurunkan minat warga terhadap vaksin tersebut," katanya.
Sebelumnya diberitakan, MUI telah mengeluarkan fatwa terkait vaksin COVID-19 AstraZeneca. MUI menyatakan vaksin AstraZeneca boleh digunakan dalam situasi darurat.
Berikut ini 5 alasan MUI yang disampaikan Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh:
1. Ada kondisi kebutuhan yang mendesak atau hajah assyariyah di dalam konteks fikih yang menduduki kedudukan darurat syari atau dhoruroh syariyah.
2. Ada keterangan dari ahli dari yang kompeten dan terpercaya tentang bahaya atau risiko fatal jika tidak segera dilakukan vaksinasi COVID-19.
3. Ketersediaan vaksin COVID-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi COVID-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok atau herd immunity.
4. Ada jaminan keamanan penggunaannya oleh pemerintah sesuai dengan penjelasan yang disampaikan pada saat rapat komisi fatwa.
5. Pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih vaksin COVID-19 mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia, baik di Indonesia maupun di tingkat global.
MUI menyatakan kebolehan penggunaan vaksin produk AstraZeneca ini tidak berlaku lagi jika alasan di atas hilang. MUI mendorong pemerintah terus menyediakan vaksin yang halal dan suci.
Indonesia telah mendapatkan 1,1 juta vaksin AstraZeneca produksi Korea Selatan melalui jalur multilateral, yakni fasilitas COVAX. Setelah sempat menangguhkan distribusi vaksin AstraZeneca, BPOM kini memutuskan vaksin AstraZeneca lebih besar manfaatnya untuk masyarakat.
BPOM menegaskan vaksin AstraZeneca yang diterima di Indonesia melalui COVAX Facility diproduksi di Korea Selatan dengan jaminan mutu sesuai standar persyaratan global untuk Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
"Badan POM RI bersama Kementerian Kesehatan dan KOMNAS PP KIPI terus memantau keamanan vaksin yang digunakan di Indonesia dan menindaklanjuti isu setiap kejadian ikutan pasca-imunisasi," papar BPOM.
Lihat juga Video "Survei SMRC: 29% Responden Masih Enggan Divaksinasi COVID-19":
(dwia/)