Diskursus mengenai urgensi Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) sudah ada dalam tiga periode kepemimpinan MPR namun belum ada realisasinya. Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) menyebutkan perdebatannya masih seputar payung hukum PPHN, apakah melalui amandemen UUD atau cukup dengan Undang-undang.
"MPR periode 2014-2019 hanya berkutat pada pengkajian tentang perlu tidaknya PPHN dan payung hukum yang digunakan. Sehingga MPR periode 2014-2019 kembali membuat ketetapan lagi berisi rekomendasi tentang PPHN untuk ditindaklanjuti oleh MPR periode sekarang (2019-2024) di bawah kepemimpinan Bambang Soesatyo," ujar HNW dalam keterangannya, Senin (29/3/2021).
Hal itu disampaikannya dalam diskusi Press Gathering Pimpinan MPR dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP), di Hotel Mambruk, Anyer, Banten, Sabtu (27/3). Diskusi dengan tema 'Urgensi Dibentuknya Pokok Pokok Haluan Negara' ini menampilkan empat orang narasumber. Selain HNW, diskusi yang dipandu oleh Friederich Batari menghadirkan narasumber lain di antaranya Jazilul Fawaid, Ketua Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari, dan Ketua Fraksi Demokrat Benny K. Harman
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
HNW yang juga terlibat dalam ketiga periode kepemimpinan MPR menceritakan perjalanan rekomendasi MPR tentang PPHN dalam diskusi yang berlangsung pada Sabtu (27/3). Ia menjelaskan rekomendasi PPHN diawali oleh MPR periode 2009-2014 di bawah kepemimpinan Taufik Kiemas (alm) yang kemudian dilanjutkan oleh Sidarto Danusubroto.
Menurutnya, MPR periode inilah yang membuat ketetapan MPR berisi rekomendasi tentang PPHN. Ia menambahkan, rekomendasi ini kemudian diserahkan kepada MPR periode berikutnya (2014-2019) di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan untuk ditindaklanjuti.
Kendati demikian, HNW menilai MPR periode 2014-2019 hanya berkutat pada pengkajian tentang perlu tidaknya PPHN dan payung hukum yang digunakan.
"Sebab, MPR yang sekarang tidak seperti MPR sebelum amandemen UUD 1945 yang memang punya kewenangan membuat GBHN, yang sekarang disebut PPHN. Sedangkan MPR sekarang bukan lagi lembaga tertinggi negara, tapi hanya lembaga negara yang setingkat dengan lembaga negara lainnya," jelasnya.
Ia melanjutkan sampai periode 2014-2019 berakhir, MPR belum juga merealisasikan PPHN. Sehingga MPR periode ini kembali membuat ketetapan lagi berisi rekomendasi tentang PPHN untuk ditindaklanjuti oleh MPR periode sekarang (2019-2024) di bawah kepemimpinan Bambang Soesatyo.
HNW mengungkap begitu pimpinan MPR periode sekarang dilantik, pengurusnya langsung gencar melakukan serap aspirasi ke berbagai kalangan dan secara massif melakukan kajian tentang urgensi dari PPHN ini.
Adapun untuk hasilnya, Ketua Fraksi Demokrat di MPR yang juga Pimpinan Badan Pengkajian MPR Benny K. Harman mengatakan hampir semua fraksi sependapat bahwa PPHN penting sebagai panduan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan. Meski begitu, ia menyampaikan masih menjadi perdebatan adalah soal payung hukumnya, apakah Ketetapan MPR yang berarti harus ada amandemen UUD, atau cukup dengan undang-undang.
Benny menilai kedua pilihan tersebut memiliki kelemahan masing-masing. Ia menyebutkan jika Undang-undang bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi, kalau dianggap bertentangan dengan Konstitusi. Begitu pula TAP MPR, lanjutnya, kelemahannya ada pada kedudukan TAP MPR yang berada di bawah UUD dan di atas UU.
"Ini tidak dikenal dalam UUD NRI Tahun 1945, kecuali TAP MPR yang dikeluarkan pada tahun 1999 hingga 2002 yang masih eksis. Jadi, TAP MPR ini juga bukan tidak mungkin bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk judicial review," katanya.
Ia pun menyebutkan, hingga kini nasib dari rekomendasi tentang menghadirkan kembali Pokok Pokok Haluan Negara masih akan terus dikaji oleh Badan Pengkajian MPR.
(akn/ega)