PKS Tak Setuju Pidato Zulhas soal Demokrasi Culas, tapi Bahagia PAN Oposisi

PKS Tak Setuju Pidato Zulhas soal Demokrasi Culas, tapi Bahagia PAN Oposisi

Lisye Sri Rahayu - detikNews
Kamis, 25 Mar 2021 09:08 WIB
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera, di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (9/11/2020).
Foto: Mardani Ali Sera (Rahel/detikcom)
Jakarta -

PKS menyebut penilaian Ketum PAN, Zulkifli Hasan (Zulhas) mengenai demokrasi yang culas atau curang dalam Pilkada 2017 hingga Pemilu 2019 terlalu kejam. PKS menilai indeks demokrasi RI saat ini memang turun.

"Ada catatan dengan demokrasi kita. Indeks demokrasi memang turun. Tapi demokrasi culas sepertinya terlalu kejam penilaiannya. Ada masalah, tapi tanggung jawab kita semua," kata ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera kepada wartawan, Rabu (24/3/2021).

Mardani juga menanggapi pernyataan Zulhas soal capres dan cawapres di Pilpres 2019 yang kalah menjadi menteri kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin. Menurutnya, keputusan Prabowo dan Sandi untuk bergabung ke kabinet adalah pilihan politik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Perkara ada yang jadi menteri itu pilihan politik masing-masing," katanya.

Mardani memastikan PKS akan bahagia jika PAN menjadi oposisi. Dia menegaskan menjadi oposisi adalah pilihan PKS secara sadar.

ADVERTISEMENT

"Buat PKS, menjadi oposisi adalah pilihan sadar berbasis etika dan logika demokrasi. Jika ada parpol lain yang mau juga memperkuat sikap oposisi kami tentu bahagia," kata dia.

Zulhas sebelumnya menyampaikan pidato kebangsaan ditayangkan di YouTube Zulkifli Hasan, Rabu (24/3). Dia bicara soal demokrasi culas hingga menyinggung capres dan cawapres yang kalah dalam Pilpres 2019 kini menjadi menteri di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Simak juga 'Parpol Tertinggi Pilihan Anak Muda Versi Indikator':

[Gambas:Video 20detik]



Pada awal pidatonya, Zulhas bicara tentang kebijakan ekonomi yang cenderung liberal dan pro terhadap asing. Zulhas kemudian bicara soal demokrasi yang dianggapnya jauh dari musyawarah mufakat. Zulhas menyebut Pilkada hingga Pilpres menunjukkan demokrasi culas alias curang dan hanya berpikir menang.

"Termasuk cara kita dalam menyelenggarakan demokrasi yang kian meninggalkan semangat musyawarah mufakat sebagaimana diamanatkan sila ke-4 dalam Pancasila. Pilkada 2017, 2018, Pileg dan Pilpres 2019 serta Pilkada serentak 2020 yang telah lalu telah menunjukkan kepada kita karakter demokrasi yang culas dan hanya berpikir menang-menangan," ujarnya.

"Politik elektoral berubah sedemikian rupa menjadi semata ajang untuk memperebutkan kekuasaan belaka, berebut lobi, dan pengaruh dengan agenda berbeda-beda. Tak peduli masyarakat terpolarisasi secara hebat, bahkan muncul benih-benih permusuhan dan kebencian yang ongkos sosial budayanya sangat tinggi," lanjut Zulhas.

Zulhas menyayangkan perpecahan itu sudah telanjur terjadi. Padahal persaingan capres-cawapres sudah berakhir, bahkan pihak yang kalah bergabung ke yang menang.

"Persaudaraan kebangsaan yang terganggu, setelah pemenang Pilpres diperoleh, pada akhirnya yang kalah bergabung juga dengan penguasa. Capres dan cawapres penantang, keduanya kini menjadi menteri juga, bergabung dengan Presiden yang terpilih. Tidak ada berkuasa dan tidak berkuasa, semua menjadi satu. Sementara konsekuensi terbelahnya masyarakat menjadi kubu-kubu telanjur terjadi," ucapnya.

Halaman 2 dari 2
(lir/zak)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads