Vonis 6 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim kepada mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan 4 tahun bui untuk Irjen Napoleon Bonaparte dinilai terlalu ringan. Kritikan pun berdatangan.
Sidang pembacaan vonis untuk Nurhadi dan Irjen Napoleon sama-sama digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, kemarin, Rabu (10/3/2021). Hanya saja waktu sidangnya yang berbeda.
Nurhadi dinyatakan terbukti menerima suap dan gratifikasi. Nilai suap dan gratifikasi yang diterima Nurhadi fantastis, yakni Rp 49 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mengadili, menyatakan terdakwa 1 Nurhadi dan terdakwa 2 Rezky Herbiyino secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, beberapa kali, dan terus menerus," ujar hakim ketua Saifuddin Zuhri saat membacakan surat putusan.
"Menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 6 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan," lanjut hakim Saifudin.
Adapun rincian suap dan gratifikasi yang diterima Nurhadi, yakni Rp 35.726.955.000 dari Direktur PT MIT Hiendra Soenjoto berkaitan dengan penanganan perkara melawan PT KBN, dan gratifikasi senilai Rp 13.787.000.000. Jika ditotal, jumlahnya Rp 49.513.955.000.
Nurhadi dinyatakan melanggar Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 dan 65 ayat 1 KUHP.
Begitu juga Irjen Napoleon. Dia dinyatakan terbukti menerima suap USD 370 ribu dan SGD 200 ribu dari Djoko Tjandra terkait dengan penghapusan red notice/DPO di Imigrasi. Penghapusan red notice itu atas nama Djoko Tjandra.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," ujar hakim ketua Muhammad Damis, saat membacakan surat putusan.
"Menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 4 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan," lanjut hakim Damis.
![]() |
Suap untuk Irjen Napoleon Bonaparte diberikan oleh Djoko Tjandra melalui rekannya, Tommy Sumardi. Ironinya, uang suap tersebut diberikan langsung kepada Irjen Napoleon di Gedung TNCC Polri.
Irjen Napoleon terbukti bersalah melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Besaran hukuman untuk Nurhadi dan Irjen Napoleon ini dikritik sejumlah pihak. Baca di halaman berikutnya.
Simak video 'Terima Suap-Gratifikasi Rp 49 M, Nurhadi Divonis 6 Tahun':
Kritikan atas vonis 6 tahun penjara untuk Nurhadi datang dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). MAKI menilai putusan majelis hakim mengecewakan.
"Memang mengecewakan putusan 6 tahun itu. Karena apapun kan kalau berbicara Nurhadi itu apapun sekretaris MA, dan dia memanfaatkan jabatan sekretaris itu untuk istilahnya, tanda kutip itu, melakukan penyimpangan atau mempengaruhi putusan-putusan," tutur Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan, Kamis (11/3/2021).
"Soal istilahnya dia mempengaruhi hakim itu dituruti atau tidak, berhasil atau tidak berhasil, urusan nanti. Tapi dia berusaha memanfaatkan kedudukannya," imbuhnya.
Nurhadi dinilai layak dihukum penjara di atas 10 tahun. Pertimbangannya, karena Nurhadi bekerja di lembaga penegak hukum, di mana para hakim atau 'wakil Tuhan' bernaung.
"Meskipun dia bukan penegak hukum tapi kan dia bekerja di lembaga penegak hukum. Dan itu lah yang mestinya harus dilihat oleh hakim sehingga mestinya putusannya itu di atas 10 tahun," ujar Boyamin.
Sementara kritikan untuk vonis Irjen Napoleon Bonaparte datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW menilai Irjen Napoleon pantas mendapat hukuman penjara seumur hidup dan denda senilai Rp 1 miliar.
"ICW beranggapan vonis yang pantas dijatuhkan kepada Prasetijo dan Napoleon adalah penjara seumur hidup. Keduanya juga layak diberi sanksi denda sebesar Rp 1 miliar," terang Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Kamis (11/3).
Pertimbangan ICW, yakni karena Irjen Napoleon menerima suap saat masih berprofesi sebagai aparat penegak hukum selaku Kadiv Hubungan Internasional Polri. Perilaku Irjen Napoleon dianggap menghambat proses hukum.
"Pertama, ketika melakukan kejahatan mereka mengemban profesi sebagai penegak hukum. Tentu, praktik suap-menyuap yang ia lakukan dengan sendirinya meruntuhkan citra Polri di mata masyarakat. Kedua, Prasetijo dan Napoleon selaku penegak hukum malah bekerjasama dengan buronan," sebut Kurnia.