Eks Dirjen Cerita Ucapan Staf Edhy soal Dicopot Usai Tolak Izin Ekspor Benur

Eks Dirjen Cerita Ucapan Staf Edhy soal Dicopot Usai Tolak Izin Ekspor Benur

Zunita Putri - detikNews
Rabu, 03 Mar 2021 14:16 WIB
Suasana sidang penyuap Edhy Prabowo terkait kasus ekspor benur (Zunita/detikcom)
Suasana sidang penyuap Edhy Prabowo terkait kasus ekspor benur. (Zunita/detikcom)
Jakarta -

Mantan Dirjen Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), M Zulficar Muchtar, mengaku pernah ditelepon Edhy Prabowo terkait izin ekspor benih lobster atau benur. Zulficar juga mengaku staf khusus Edhy Prabowo pernah mengatakan dirinya akan dicopot Edhy usai menolak teken izin ekspor benur.

Awalnya, Zulficar menyampaikan keluhannya terkait adanya kejanggalan tata kelola dalam pemberian izin ekspor. Zulficar mengungkapkan ada dua perusahaan yang melompati proses izin ekspor benur di KKP.

Padahal, dua perusahaan ini belum mendapat tanda tangan dari Zulficar selaku Dirjen Tangkap KKP. Menurut Zulficar, sebelum izin ekspor terbit, itu harus memenuhi beberapa syarat, yaitu ada calon eksportir dan surat sukses budi daya, kemitraan. Tapi, dua perusahaan ini belum memiliki itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"(Yang tidak ada) surat telah melakukan budidaya, surat penetapan waktu pengeluaran, jadi langsung lompat ke ekspor, yang dua perusahaan tanpa sepengetahuan saya," kata Zulficar saat menjadi saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (3/3/2021).

Kemudian, sekitar 9 Juli 2020, Zulficar mengaku diinformasikan ada lima perusahaan lagi yang dikabarkan sudah siap ekspor. Namun lima perusahaan ini baru menjalani usaha budidaya 2 bulan, sehingga dia tidak menandatangani izin untuk lima perusahaan itu.

ADVERTISEMENT

"Diperiksa administrasinya, tapi saya nggak yakin karena baru 1 sampai 2 bulan berjalan, minta izin (ekspor) tapi dibilang udah sukses restocking, budidaya, tapi saya nggak yakin. Budidaya nggak seperti ini, tapi dari dirjen dan direkturnya ada segmentasi dalam budi daya, tapi menurut saya nggak valid," jelasnya.

Atas dasar itu, Zulficar mengaku tidak menandatangani izin ekspor terhadap lima perusahaan tersebut. Namun, pada akhirnya dia menandatangani izin itu karena diperintah Edhy Prabowo, yang merupakan Menteri KP saat itu.

"Saat diminta untuk tanda tangan pada 9 Juli, saya tolak, dan nggak ada tanda tangan kalau bertentangan dengan Dirjen Budidaya, oke sudah lolos. Lalu, Andreau (Stafsus Edhy, Andreau Misanta Pribadi) lapor ke menteri. Jadi akhirnya Pak Andreau menyampaikan, 'Pak Ficar akan segera dicopot dari Pak Menteri'," kata Zulficar meniru ucapan Andreau.

Simak video 'Edhy Prabowo Bantah KPK Soal Manfaatkan Kunjungan Online':

[Gambas:Video 20detik]



"Lalu Pak Menteri (Edhy) telepon saya, 'Pak Ficar diloloskan saja perusahaan tersebut, khawatir barangnya sudah di bandara, kalau gagal surat tidak keluar bisa-bisa barangnya rugi, kita bermasalah'. Itu kata pak menteri. Saya bilang 'baik saya cek lagi, administratif sudah lengkap semua', akhirnya saya tanda tangani lima dokumen tersebut dan minggu depannya saya ajukan pengunduran diri," lanjutnya.

Setelah menandatangani izin ekspor kelima perusahaan itu, Zulficar mengaku langsung mengundurkan diri. Sebab, dia menilai lima perusahaan itu masih janggal.

"13 Juli saya bikin (surat pengunduran diri), 14 Juli saya ajukan, masuk kantor terakhir 17 Juli 2020," ujarnya.

Dia mengatakan alasan menandatangani surat izin kelima perusahaan itu karena bergantung pada pemeriksaan di Ditjen lainnya.

"Yang lima perusahaan ekspor ini saya nggak yakin di lapangan, tapi saya bergantung ke sistem kan ada di Ditjen Pengawasan, Ditjen Budidaya, Ditjen Karantina, tugasnya saya di perikanan tangkap sudah terpenuhi semua sebenarnya, meski secara logika nggak beres, dan saya tahu PNPB tidak keluar dari Kemenkeu, kalau PNPB nggak keluar sangat dikit masuk ke negara Rp 40 juta diekspor cuma Rp 11 juta, jadi ikut ke PP 75/2015 nggak dispesifikkan benih lobster, tapi benih ikan-ikan lainnya per 1.000 benih lobster hanya Rp 250 perak, masih revisi PP tapi belum keluar," jelasnya.

Dalam sidang ini yang duduk sebagai terdakwa adalah Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP), Suharjito. Dia didakwa memberi suap ke Edhy Prabowo yang saat itu menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan (KP). Suharjito disebut jaksa memberi suap ke Edhy sebesar Rp 2,1 miliar terkait kasus ekspor benur.

Jaksa menyebut uang suap diberikan ke Edhy melalui staf khusus menteri KKP Safri dan Andrau Misanta Pribadi, lalu Sekretaris Pribadi Edhy bernama Amiril Mukminin dan Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy Prabowo Iis Rosita Dewi, dan Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PT PLI) sekaligus Pendiri PT Aero Citra Kargo (PT ACK), Siswadhi Pranoto Loe. Suap diberikan agar Edhy mempercepat perizinan budi daya benih lobster ke PT DPPP.

Halaman 2 dari 2
(zap/haf)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads