Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyoroti penggeledahan penyidik KPK terhadap rumah anggota DPR Fraksi PDIP Ihsan Yunus terkait kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Corona. MAKI menilai penggeledahan yang tak mendapatkan barang bukti tersebut sudah terlambat.
"Lah geledahnya sudah sebulan dari kejadian, emang dapat apa? Agak sulit untuk dapat barang bukti, diduga sudah dibersihin sebelumnya. Sudah sangat terlambat," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan, Kamis (25/2/2021).
MAKI menilai seharusnya penggeledahan dilakukan sesegera mungkin seusai pengungkapan kasus bansos Corona ini. Dia mengibaratkan penggeledahan itu sebagai perang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penggeledahan, jadi mestinya langsung dilakukan sehingga barang bukti masih utuh dan tidak dihilangkan. Kalau baru sekarang atau nanti, maka diperkirakan barang bukti sudah hilang semua," ucapnya.
"Ibarat perang, penggeledahan itu harus ada unsur kejut dan mendadak. Jika perlu malam hari atau menjelang pagi," tambahnya.
Terkait gugatan praperadilan karena KPK tak kunjung memeriksa Ihsan Yunus, MAKI tetap melanjutkan gugatan. Dia ingin membuktikan dugaan adanya penelantaran 20 izin penggeledahan dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK dalam kasus tersebut.
"(Gugatan praperadilan) masih tetap lanjut, karena masih ada yang kurang, yaitu terkait 20 izin penggeledahan belum semuanya dilakukan," katanya.
Seperti diketahui, KPK kembali memanggil Ihsan Yunus menjadi saksi terkait kasus korupsi bansos Corona. Dia hendak diperiksa menjadi saksi untuk tersangka Matheus Joko Santoso (MJS).
"Yang bersangkutan dipanggil menjadi saksi untuk tersangka MJS," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Kamis (25/2/2021).
Pemanggilan dilakukan setelah KPK menggeledah kediaman Ihsan Yunus yang berada di Pulogadung, Jakarta Timur, kemarin. Namun, dalam penggeledahan itu, penyidik KPK tidak mendapat barang bukti apa pun dari rumah Ihsan Yunus.
Kasus korupsi bansos Corona ini menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Batubara, yang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka. Dia dijerat bersama empat orang lainnya, yaitu Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian IM, dan Harry Sidabukke.
Dua nama awal merupakan pejabat pembuat komitmen atau PPK di Kemensos. Sedangkan dua nama selanjutnya adalah pihak swasta sebagai vendor pengadaan bansos.
KPK menduga Juliari menerima jatah Rp 10 ribu dari setiap paket sembako senilai Rp 300 ribu per paket. Total setidaknya KPK menduga Juliari Batubara sudah menerima Rp 8,2 miliar dan Rp 8,8 miliar.