Potret Tantangan Vaksinasi Warga dalam Bingkai Survei

Round Up

Potret Tantangan Vaksinasi Warga dalam Bingkai Survei

Tim Detikcom - detikNews
Minggu, 21 Feb 2021 21:14 WIB
Burhanuddin Muhtadi
Foto: Burhanuddin Muhtadi (Foto: Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukan sebanyak 54,9 persen warga bersedia divaksinasi COVID-19. Sementara 41 persen warga tidak atau kurang bersedia divaksin COVID-19 dengan alasan beragam dari mulai tidak percaya efektivitasnya hingga takut dengan efek sampingnya.

Metode survei ini dilakukan secara by phone karena situasi pandemi ini belum memungkinkan secara lebih masif melakukan survei face to face. Sampel sebanyak 1.200 responden dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020.

Sebanyak 206.983 responden yang terdistribusi secara acak di seluruh nusantara pernah diwawancarai secara tatap muka langsung dalam rentang 2 tahun terakhir. Secara rata-rata, sekitar 70% di antaranya memiliki nomor telepon. Jumlah sampel yang dipilih secara acak untuk ditelepon sebanyak 7.604 data, dan yang berhasil diwawancarai dalam durasi survei, yaitu sebanyak 1.200 responden.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan asumsi metode simple random sampling, ukuran sampel 1.200 responden memiliki toleransi kesalahan (margin of error/MoE) sekitar Β±2.9% pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional. Survei dilakukan nasional pada 1-3 Februari 2021.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan survei ini diawali berdasarkan pertanyaan 'Jika vaksin Covid-19 sudah tersedia, apakah Ibu/Bapak bersedia melakukan vaksinasi Covid-19? ...(%)?'. Sebanyak 15,8 persen menyatakan sangat bersedia, 39,1 persen menyatakan cukup bersedia, 32,1 persen menyatakan kurang bersedia, 8,9 persen menyatakan sangat tidak bersedia, 4,2 persen tidak jawab atau tidak tahu.

ADVERTISEMENT

"Data kami menunjukkan survei Indikator 1-3 Februari yang menyatakan sangat bersedia itu 15,8 persen, cukup bersedia 39,1 persen, jumlahnya kurang lebih 55 persen nasional," kata Burhanuddin dalam YouTube Indikator Politik Indonesia, Minggu (21/2/2021).

Lebih lanjut, Burhanuddin mengatakan sebanyak total 41 persen warga tidak atau kurang bersedia divaksinasi. Padahal survei tersebut dilakukan setelah Presiden RI Joko Widodo divaksinasi COVID-19 sehingga, menurutnya, Jokowi kurang berpengaruh terhadap peningkatan orang yang bersedia divaksinasi.

"Yang mengagetkan secara pribadi meskipun surveinya sudah dilakukan setelah presiden menjadi orang pertama untuk di vaksin itu masih banyak yang nggak bersedia total itu 41 persen, rinciannya 32,1 kurang bersedia, sangat tidak bersedia 8,9 persen," ujarnya.

Burhanuddin menyebut, jika membandingkan survei Indikator bulan Desember dengan survei terbaru, jumlah warga yang tidak bersedia divaksinasi hanya turun 2 persen. Dengan demikian, perlunya tokoh-tokoh lain yang mempromosikan vaksin tersebut.

"Survei kami di bulan Desember yang tidak bersedia atau sangat tidak bersedia 43 persen jadi turun hanya 2 persen, efek Presiden Jokowi ada, tapi efeknya cuma 2 persen menurunkan mereka yang awalnya tidak bersedia menjadi bersedia. Tetapi yang kurang bersedia atau sangat tidak bersedia ini terlalu besar karena masih ada 4,2 persen yang nggak mau jawab," ujarnya.

Sementara itu, responden yang menjawab tidak atau kurang bersedia divaksinasi mengemukakan berbagai alasan, di antaranya ada yang khawatir adanya efek samping yang belum ditemukan atau tidak aman sebanyak 54,2 persen, vaksin tidak efektif sebesar 27 persen, tidak membutuhkan karena badan sehat sebanyak 23,8 persen, tidak mau membayar untuk mendapat vaksin sebanyak 17,3 persen.

Ada juga yang beralasan vaksin mungkin tidak halal sebanyak 10,4 persen. Ada yang berpendapat banyak orang yang akan mendapat vaksin sehingga saya tak perlu di vaksin sebanyak 5,9 persen, serta ada yang berpendapat tidak mau di vaksin karena tidak mau masuk persekongkolan perusahaan farmasi yang membuat vaksin sebesar 3,1 persen, dan alasan lainnya 11 persen.

Berdasarkan analisis multivariate secara simultan, tampak etnis, agama, tingkat pendidikan, tingkat ancaman tertular virus dan tingkat kepercayaan terhadap efektivitas vaksin, berpengaruh signifikan terhadap kesediaan warga untuk diberi vaksin. Etnis berpengaruh signifikan dan positif terhadap kesediaan untuk di vaksin, kelompok etnis Jawa lebih tinggi kesediaannya terhadap vaksin.

"Agama berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kesediaan untuk di vaksin, kelompok muslim lebih resisten terhadap vaksin. Kehalalan vaksin harus menjadi syarat mutlak, karena 81,9% warga hanya mau divaksin jika sudah dipastikan kehalalannya," ujarnya.

Kemudian tingkat pendidikan, tingkat ancaman tertular virus dan tingkat kepercayaan terhadap efektivitas vaksin, berpengaruh signifikan dan positif, yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin merasa terancam akan tertular virus, dan semakin percaya terhadap efektivitas vaksin, maka kesediaan untuk divaksinasi semakin tinggi. Ini kemungkinan karena persoalan sosialisasi terkait perilaku pandemi yang kurang baik kepada publik.


Survei Indikator: Pro Prabowo di 2019 Cenderung Tak Percaya Vaksin COVID-19

Lembaga survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei terkait vaksinasi COVID-19. Hasil survei Indikator Politik Indonesia menyatakan pendukung Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019 cenderung lebih bersedia divaksin daripada pendukung Prabowo Subianto.

Metode survei ini dilakukan secara by phone karena situasi pandemi ini belum memungkinkan secara lebih masif melakukan survei face to face. Sampel sebanyak 1200 responden dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020.

Sebanyak 206.983 responden yang terdistribusi secara acak di seluruh nusantara pernah diwawancarai secara tatap muka langsung dalam rentang 2 tahun terakhir. Secara ratarata, sekitar 70% di antaranya memiliki nomor telpon. Jumlah sampel yang dipilih secara acak untuk ditelpon sebanyak 7.604 data, dan yang berhasil diwawancarai dalam durasi survei yaitu sebanyak 1200 responden.

Dengan asumsi metode simple random sampling, ukuran sampel 1.200 responden memiliki toleransi kesalahan (margin of error--MoE) sekitar Β±2.9% pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional. Survey dilakukan nasional 1-3 Februari 2021.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan total sebanyak 54,9 persen warga bersedia di vaksin, 41 persen warga tidak atau kurang bersedia divaksin. Rinciannya sebanyak 15,8 persen menyatakan sangat bersedia, 39,1 persen menyatakan cukup bersedia, 32,1 persen menyatakan kurang bersedia, 8,9 persen menyatakan sangat tidak bersedia, 4,2 persen tidak jawab atau tidak tahu.

Burhanuddin mengatakan kebanyakan pendukung Prabowo-Sandi tidak bersedia di vaksin karena efek samping belum ditemukan sebanyak 52,8 persen, sedangkan pendukung Jokowi-Ma'ruf sebesar 56,4 persen. Sementara pendukung Prabowo-Sandi yang menolak vaksin karena menilai vaksin itu tidak efektif sebesar 28,1 persen, sedangkan pendukung Jokowi-Ma'ruf sebesar 22,9 persen.

"Basis Pilpres, nah ini, jadi ternyata pendukung pak Prabowo-Sandi di 2019 itu cenderung tidak percaya vaksin/efektivitas vaksin (39,7 persen) ketimbang pendukung pak Jokowi (24,8)," kata Burhanuddin, dalam YouTube Indikator Politik Indonesia, Minggu (21/2/2021).

Sementara itu pendukung Prabowo-Sandi yang percaya efektivitas vaksin dalam mencegah tertular COVID-19 sebesar 45,4 persen, sedangkan pendukung Jokowi-Ma'ruf 59,5 persen. Burhanuddin menyarankan agar sosialisasi vaksinasi melibatkan tokoh agama maupun tokoh seperti Prabowo Subianto agar banyak yang mau divaksin.

"Nah ini saran saya kepada pemerintah, yang di vaksin yang di-blow up jangan hanya presiden Jokowi, mas Ganjar, tapi juga pak Prabowo dan mas Sandi vaksin ramai-ramai, misalnya mas Anies, siapa lagi lah," ujarnya.

Dengan demikian, ia menilai tantangan vaksinasi bukan hanya semata-mata problem teknis kesehatan. Akan tapi juga problem politik dan psikologi.

"Pilihan Pilpres, orang yang memilih pak Jokowi cenderung bersedia ketimbang yang memilih pak Prabowo di 2019 dalam melakukan vaksin," ujarnya.


Alasan Ganjar Tak Terapkan Sanksi Bagi Warga Penolak Vaksin di Jateng

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo belum mau menerapkan sanksi pada warga yang menolak vaksin Corona. Hal itu karena menurutnya ketersediaan vaksin corona saat ini masih belum cukup.

"Kan sudah disiapin mau dihukum denda Rp 5 juta lah, nanti apa nama tidak dapat... Jawa Tengah gimana tidak ada, tidak usah dihukum. Vaksinnya saja belum ada mau dihukum, kecuali 1 bulan ini vaksin se-Indonesia mesti selesai kalau ada yang nggak mau boleh lah kita hukum, tapi kan vaksinnya masih dicicil kita musti sabar," kata Ganjar, dalam diskusi yang disiarkan di YouTube Indikator Politik Indonesia, Minggu (21/2/2021).

Bagi warga yang menolak vaksin akan diutamakan untuk dilakukan edukasi. Warga yang menolak vaksin akan dikumpulkan hingga akhir

Sementara itu, berkaca dari survei Indikator terkait warga yang menolak vaksin, Ganjar mengaku akan mengumpulkan tokoh agama, tokoh etnis, tokoh politik dan lainnya. Hal itu untuk menyosialisasikan efektivitas vaksinasi.

"Nah selama sekian bulan ini dengan data Mas Burhan tadi kira-kira yang gak setuju siapa sih kelompok etnis, kelompok agama, kelompok Umur," ujarnya.

"Saya sepakat dengan Mas Burhan politik maka tokoh politik yang di kamar sebelah memang mesti ditampilkan secara bersama-sama agar kemudian mereka juga menjadi representasi ya dari kelompok yang secara politik ada potensi untuk tidak setuju, saya setuju banget ini sehingga ini bisa berjalan dengan baik," ujarnya.

Sebelumnya, Satgas Penanganan COVID-19 menyampaikan terkait penerapan sanksi denda bagi warga yang menolak vaksinasi. Satgas Penanganan COVID-19 menyebut pengenaan sanksi denda merupakan opsi terakhir setelah upaya persuasif.

"Perlu diingat bahwa peraturan ini adalah opsi terakhir, jika langkah persuasif tidak efektif, dan menghambat secara signifikan rencana operasional vaksinasi yang mengancam pembentukan kekebalan komunitas," kata Jubir Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito, dalam konferensi pers yang disiarkan di YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (18/2/2021).

Wiku mengatakan berdasarkan Pasal 13 A ayat 5 Perpres nomor 14 tahun 2021 pengenaan sanksi administratif akan ditetapkan dan dilakukan oleh kementerian dan lembaga terkait, pemerintah daerah, dan atau badan sesuai dengan kewenangannya. Namun penerapan sanksi merupakan opsi terakhir jika persuasif tidak diindahkan, ia meminta agar masyarakat mendukung program vaksinasi.

"Ingat bahwa setiap detik, menit dan waktu yang ada sangat strategis dalam pengendalian COVID-19 dan mampu menyelamatkan jiwa manusia di Indonesia. Maka dari itu kami melihat bahwa masyarakat sementara ini masih patut dan mendukung program vaksinasi sehingga denda atau sanksi administratif pada saat ini belum perlu dilakukan," imbuhnya.

Ridwan Kamil Setuju Vaksinasi Mandiri Asal Tak Ganggu Suplai di Puskesmas


Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mendukung program vaksinasi mandiri. Hal itu agar cepat terciptanya herd immunity atau kekebalan komunitas.

"Saya punya pendapat juga terkait vaksin mandiri, kalau herd immunity ini mau dicapai, maka semua metode manajemen penyuntikan vaksin secepat-cepatnya itu yang kita pilih, kalau ternyata vaksin mandiri ini mempercepat terjadinya herd immunity ini saya sangat setuju, yang penting adalah manajemen penyuntikan mandiri itu tidak mengganggu jadwal yang sudah diatur di puskesmas," kata pria yang akrab disapa Kang Emil itu di diskusi yang disiarkan di YouTube Indikator Politik Indonesia, Minggu (21/2/2021).

Ia menyebut selama vaksinasi mandiri itu tidak mempengaruhi jadwal dan ketersediaan vaksin gratis di puskesmas, maka tidak masalah. Sebab vaksin mandiri itu dinilai akan mempercepat program herd immunity atau kekebalan komunitas.

"Ibaratnya begini, semua itu gratis, Anda orang kaya juga gratis, tapi kalau mandiri ya Anda harus bayar karena anda ngatur jadwal sendiri, di tempat yang lebih nyaman sendiri, tidak ngantri di puskesmas dan sebagainya," ujarnya.

Akan tetapi, ia menyebut kelompok menengah atas yang dapat mengajukan vaksin mandiri tersebut. Selain itu, Kang Emil akan meningkatkan jumlah vaksinator di Jawa Barat dari yang saat ini 11 ribu, ia menargetkan bisa meningkat 3 kali lipat dengan bantuan TNI-Polri.

"Jadi saya dalam perdebatan vaksin mandiri dari aspek kita harus mencapai herd immunity secepatnya cenderung menyetujui ada pilihan kelompok menengah atas untuk membayar melakukan vaksin mandiri selama tidak mengganggu supply demand yang di puskesmas," imbuhnya.

Sementara itu, Kang Emil turut berbicara terkait hasil survei Indikator terkait warga yang masih enggan divaksin. Ia akan mencari cara komunikasi publik yang lebih baik terhadap kelompok yang menolak vaksin.

"Kalau tadi ambil contoh misalnya usia generasi Z 22-25 itu bukan milenial, itu generasi Z, itu tingkat gak maunya tinggi, berarti harus cari cara mengkomunikasikan ke kelompok usia itu dengan sebuah metode. Sehingga kalau tadi diklasifikasi ada 8 segmen dari mulai usia, agama, etnisitas, pendapatan, desa/kota, sampai pilihan Pilpres, kiranya saya mengambil manfaatnya adalah mungkin Jawa Barat akan melakukan komunikasi publik secara khusus," ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan tantangan vaksinasi di Jawa Barat salah satunya jumlah puskesmas yang lebih sedikit dibandingkan desa. Ia menyoroti untuk mencapai herd immunity maka jumlah vaksin dan dosisnya harus siap diimbangi kecepatan penyuntikan vaksin.

"Jadi di mata saya tujuan vaksinasi itu mengejar herd immunity yang 70 persen, nah itu herd immunity itu hanya bisa dicapai dalam dua kondisi, pertama jumlah vaksinnya siap mengejar 70 persen atau dosisnya siap 70 persen tapi kecepatan nyuntiknya lambat," ujarnya.

"Artinya orang yang disuntik pertama bertemu dengan orang yang sudah disuntik dua kali artinya tidak tercapai, yang satu sudah mulai lemah antibodinya, yang satu baru membangun antibodinya, jadi terlihat statistik 70 persennya tercapai tetapi sebenarnya kumpulan orang-orang yang tidak setara antibodinya, akibatnya herd immunity tidak tercapai," imbuhnya.

Ia mengusulkan di Jawa Barat agar disediakan gedung olahraga untuk memaksimalkan vaksinasi. Kemudian untuk menjangkau daerah, maka menggunakan mobil vaksin keliling ke desa-desa untuk mensiasati jumlah puskesmas yang sedikit. Ia menganalogikan jumlah puskesmas di Jawa Barat hanya seribu sedangkan desanya sebanyak 5 ribu.

"Nah problem-nya adalah sampai hari ini kita diketeng-keteng jatah dari pusatnya, sehingga saya tidak bisa melakukan skenario berapa gedung atau mobil yang harus saya siapkan, karena kita tahu kita berlomba meraih vaksin," ujarnya.

Meski begitu ia menilai patut disyukuri karena pemerintah telah mengamankan sejumlah dosis vaksin untuk kebutuhan dalam negeri. Diantaranya ada vaksin Sinovac, Aztrazeneca, Pfizer.

"Tapi satu hal yang harus kita sukuri dari Pak Menkes yang selalu saya pegang agar kita bersyukur, dia bilang: Pak gubernur hari ini vaksin tidak mudah, punya duit pun negara tidak bisa langsung beli karena sudah dipesan oleh negara-negara maju. Jadi sampai WHO itu turun untuk meminta pabrik vaksin itu menyediakan presentasi untuk negara miskin," sambungnya.

Halaman 2 dari 4
(yld/zak)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads