Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) melaporkan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X ke Komnas HAM. Pelaporan itu terkait dengan Peraturan Gubernur (Pergub) yang berisi pembatasan unjuk rasa di kawasan Malioboro.
"Aliansi yang beranggotakan 78 lembaga non-pemerintah dan individu pro-demokrasi tersebut melaporkan Sultan dengan cara mengirimkan surat bermeterai melalui Kantor Pos Besar Yogyakarta ke alamat kantor Komnas HAM di Jakarta," tulis ARDY dalam keterangan pers yang dimuat di website LBH Yogyakarta seperti dikutip, Kamis (18/2/2021).
ARDY menerangkan pembatasan unjuk rasa itu tertuang dalam Pergub Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka. Menurut ARDY isi pergub tersebut melanggar hak asasi untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum," ungkapnya.
ARDY menjelaskan, ada 4 hal yang dinilai melanggar HAM dalam pergub tersebut. Pertama, tentang pembatasan kawasan penyampaian pendapat di muka umum berkedok pariwisata. Kedua, mengenai pembatasan waktu penyampaian pendapat di muka umum.
"Pasal 6 Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka menyebutkan penyampaian pendapat di muka umum berlangsung di ruang terbuka untuk umum dilaksanakan dalam kurun waktu pukul 06.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB," lanjutnya.
ARDY mengatakan pergub tersebut juga memuat pembatasan penggunaan pengeras suara. Para pendemo harus menerapkan batas maksimal tingkat kebisingan penggunaan pengeras suara sebesar 60 dB.
"Tentang pembatasan penggunaan pengeras suara. Pasal 6 mewajibkan setiap orang menjaga ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Pasal ini mengharuskan setiap orang mematuhi batas maksimal baku tingkat kebisingan penggunaan pengeras suara sebesar 60 dB (enam puluh desibel)," lanjutnya.
Terakhir, kata ARDY, ada pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk turut serta ikut dalam urusan sipil. ARDY menyebut dalam pergub tersebut tertuang bahwa TNI akan ikut sebelum, sesaat sampai setelah pelaksanaan demo itu berakhir.
"Keempat tentang pelibatan Tentara Nasional Indonesia dalam urusan sipil. Pergub itu mendorong tentara keluar dari barak untuk terlibat dalam urusan sipil. Dalam pergub tersebut, TNI ikut serta dalam wilayah koordinasi sebelum, saat, dan setelah pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum (pasal 10)," tuturnya.
Atas dasar itulah, ARDY meminta Komnas HAM menindaklanjuti laporan terhadap Sultan Hamengkubuwono X itu. ARDY berharap Komnas HAM dapat melakukan tugas dan wewenangnya sesuai dengan undang-undang.
"ARDY meminta kepada Komnas HAM RI untuk menindaklanjuti laporan dengan melakukan tugas dan wewenangnya seperti yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Choirul Anam mengaku akan memproses laporan itu. Dia mengatakan saat ini pihaknya tengah mempelajari detail mengenai kasus tersebut.
"Akan diproses ya. Kami sudah mendengarkan, kami sedang mempelajari detailnya kayak apa karena satu begini dalam konteks konstitusi, ini konstitusi kita loh, konstitusi Republik Indonesia mengatakan bahwa pembatasan hak asasi manusia itu hanya bisa dilakukan dengan undang-undang, di bawah undang-undang tidak boleh, itu yang pertama," kata Anam di gedung Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, hari ini.
Anam kemudian menyoroti soal pengaturan ruang demokrasi di kalangan masyarakat. Menurut dia, sebaiknya para pemangku kebijakan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan.
"Pengaturan soal ruang demokrasi, itu kan ruang demokrasi dan sebagainya untuk menyatakan pendapat dan sebagainya memang ada baiknya dikonsultasikan kepada seluruh masyarakat secara langsung, apalagi tanpa ada ruang demokrasi tidak mungkin kita bisa mewujudkan negara kita konstitusional," tuturnya.