Habiburokhman Pernah Gugat UU ITE ke MK tapi Ditolak

Habiburokhman Pernah Gugat UU ITE ke MK tapi Ditolak

Andi Saputra - detikNews
Selasa, 16 Feb 2021 16:18 WIB
Habiburokhman (Dok. Pribadi)
Habiburokhman (Dok. Pribadi)
Jakarta -

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka peluang UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk direvisi. Jauh sebelumnya, Waketum Partai Gerindra Habiburokhman pernah menggugat UU ITE itu ke Mahkamah Konstitusi (MK), tapi kandas.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 76/PUU-XV/2017 yang dikutip detikcom, Selasa (16/2/2021), kala itu Habiburokhman menggugat UU ITE bersama Asma Dewi. Keduanya menggugat Pasal 28 ayat (2) dan 45A ayat (2) UU ITE yang dinilai berpotensi dijadikan alat untuk mengkriminalisasi dalam mengeluarkan pendapat karena ketidakjelasan definisi dalam kata 'antargolongan'.

Pasal 45A ayat 2 UU ITE berbunyi:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargalongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Alasan Habiburokhman, dia kerap mengeluarkan pendapat, baik melalui media massa mainstream, seperti koran, radio, dan televisi; maupun melalui media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Adapun Asma Dewi kerap mengeluarkan pendapat melalui akun media sosial Facebook.

ADVERTISEMENT

"Pendapat yang dinyatakan para Pemohon kerap berupa kritik para Pemohon kepada pemerintah mengenai berbagai hal yang menurut para Pemohon harus diperbaiki," kata Habiburokhman dalam gugatannya.

Menurut Habiburokhman dan Asma Dewi, Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE tidak jelas apa balasannya sehingga dalam penerapannya bisa diartikan sangat luas menjadi kelompok apa pun yang ada dalam masyarakat, baik yang bersifat formal maupun nonformal. Ketidakjelasan batasan istilah 'antargolongan' ini sudah beberapa kali aktivis yang mengeluarkan pendapat berupa kritik kepada pemerintah melalui media sosial dilaporkan melanggar Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE.

'Meskipun aktivis tersebut tidak membuat pernyataan yang menimbulkan kebencian berdasarkan suku, agama, dan ras, namun dia dituduh menyebabkan kebencian berdasarkan golongan," ucap Habiburokhman.

Tapi apa daya, argumen Habiburokhman ditolak 9 hakim konstitusi.

"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ucap majelis MK, pada 28 Maret 2018.

MK berpendapat kekhawatiran Habiburokhman dan Asma Dewi tidak beralasan menurut hukum. Sebab, hukum, khususnya hukum pidana, diciptakan bukan untuk melindungi sifat maupun tindakan/perbuatan jahat.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Lihat Video "Jokowi: Kalau UU ITE Tak Bisa Beri Keadilan, Saya Minta DPR Revisi":

[Gambas:Video 20detik]



"Bahkan, dalam ilmu hukum pidana, dikatakan bahwa salah satu unsur objektif tindak pidana adalah adanya sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Tindakan/perbuatan korupsi, anti-Pancasila, mencuri, merampok, sebagai contoh, adalah tindakan yang melanggar hukum," kata MK dengan tegas.

Sejumlah orang yang terbukti melakukan berbagai tindakan tersebut dan telah dijatuhi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dinilai tidak masuk akal untuk merasa tersinggung atau dirugikan, serta tidak mungkin meminta perlindungan hukum dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE.

"Orang atau golongan yang disangka demikian memiliki hak untuk dilindungi dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE," papar majelis.

Terhadap dalil multitafsir kata 'golongan', MK berpendapat Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE merupakan peraturan yang sifatnya lebih khusus dibandingkan dengan ketentuan Pasal 156 KUHP. Menurut MK, penggunaan istilah/kata yang sama oleh dua UU yang berbeda bukanlah sebuah kesalahan apalagi pelanggaran konstitusi.

"Selama keduanya memiliki konteks yang berbeda dan perbedaan demikian dapat dengan mudah diketahui melalui penafsiran kontekstual," ujar majelis yang terdiri atas Anwar Usman, Arief Hidayat, Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, Saldi Isra, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, dan Wahiduddin Adams.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads