Eks pimpinan cabang BNI Kebayoran Baru, Alimin Hamdi, dihadirkan sebagai saksi dalam kasus pembobolan BNI senilai Rp 1,7 triliun dengan terdakwa Maria Pauline Lumowa. Saksi menyebut ada proses pencairan letter of credit (L/C) yang tidak sesuai prosedur.
Kesaksian itu disampaikan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Jumat (5/2/2021). Awalnya, Alimin menemukan sekitar 3-4 L/C yang tidak terbayarkan saat dia menjabat pimpinan cabang menggantikan Koesadiyuwono pada 15 September 2003.
"Kami lihat ada beberapa L/C yang dibuka dan ternyata setelah kita bayar dan kita tagih ke bank di mana L/C itu dibuka ternyata tidak terbayar. Ada 3 L/C yang sudah ditarik uangnya, pada saat ditagih ternyata uangnya tidak ada, kita tidak terbayar sehingga menyebabkan unpaid L/C, sehingga timbul kecurigaan bahwa sisa L/C lainnya kemungkinan tidak akan terbayar. Ada 41 L/C yang dibuka, mungkin sekitar 38 yang belum tertagih," ujar Alimin dalam persidangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alimin menjelaskan penyebab terjadinya unpaid L/C salah satunya karena dokumen yang tidak benar. Berdasarkan penelusuran karyawannya, Alimin menyebut ditemukan ada dokumen L/C yang tidak sesuai.
"Kalau penyebab bank tidak mau bayar pada saat kita tagih karena kemungkinan pertama L/C itu fiktif, kemungkinan kedua dokumen tidak benar sehingga bank pembuka tidak mengaku bahwa itu adalah kelengkapan dari dokumen yang sesuai," ujar Alimin.
"Ada beberapa, penelitian-penelitian karyawan sendiri maupun pihak lain, ada beberapa dokumen tidak benar," imbuhnya.
Baca juga: Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi Maria Lumowa |
Alimin mengatakan, pihak Gramindo Group mengajukan L/C ekspor berjenis usance L/C. Dia menjelaskan bahwa, dalam usance L/C, pihak bank, dalam kasus ini BNI, tidak langsung membayar tapi meneliti dulu dan menagihkan ke bank pembuka supaya segera dibayarkan. Hal itu berbeda dengan sight L/C yang bisa langsung dibayarkan oleh bank.
Dalam perkara ini, Alimin melihat ada prosedur yang tidak sesuai dalam pembayaran. Dia menyebut bank langsung memberikan pembayaran tanpa terlebih dulu menagih ke issuing bank (bank penerbit).
"Iya tidak sesuai, kenapa dibayarkan padahal ini usance L/C pada saat dipresentasikan hari itu kok dibayarin, kenapa nggak ditagih dulu, kan seharusnya nunggu dulu, ini kok langsung dibayarkan, pas kita tagih nggak balik uangnya," jelas Alimin.
Alimin mengatakan ada audit dari internal BNI setelah mengetahui adanya L/C yang jatuh tempo dan tidak tertagih ini. Atas masukan pengurus pusat, pihaknya diminta melaporkan ke kepolisian. Alimin menyebut ada sekitar Rp 2 triliun dari 41 L/C yang belum tertagih itu.
"Kalau nggak salah kurang lebih Rp 2 triliun lebih, saya kurang ingat totalnya, berapa US dolar, kalau dirupiahkan sekitar Rp 2 triliun, nilai dulu ya," ungkapnya.
Alimin sendiri mengaku tidak mengenal terdakwa Maria Pauline Lumowa dan mengira terdakwa sebagai advisor dari Gramindo Group bersama Adrian Herling Waworuntu. Namun, setelah masuk proses penyelidikan, dia baru mengetahui Maria Lumowa ini ikut terlibat.
"Setelah diproses lebih lanjut saya baru tahu bahwa dia ada terkait Group Gramarindo ini. Saya tahu Maria dari berita, teman-teman, ada Adrian, ada Maria Pauline, tapi orangnya siapa nggak tahu, belum ketemu," ungkapnya.
Sementara itu, Maria Lumowa mempertanyakan mengapa BNI tidak melakukan pencairan letter of credit (L/C) melalui bank koresponden. Itu disampaikannya untuk menanggapi kesaksian Alimin Hamdi.
"Menurut saya, peraturan international L/C you need to confirming to issuing bank. Maksud saya, kalau tidak jelas dari awal, L/C diterima sampai 56 L/C, kenapa 41," kata Maria Lumowa.
Maria mengklaim ada yang salah dalam sistem pencairan L/C di BNI Kebayoran Baru saat itu. Dia juga mempertanyakan mengapa mereka melakukan konfirmasi ke bank yang bukan korespondennya.
"Menurut saya iya (ada yang salah), penjelasan mengenai perlakuan sistem L/C. Penjelasan itu tidak masuk dalam logika, karena issuing (bank) sudah harus ditagih sebelum dibayarkan. Kedua, konfirmasi tidak akan dilakukan kalau dia bukan korespondensi banknya," ungkapnya.
Alimin menyebut tidak ada yang salah dengan proses pencairan L/C di BNI Kebayoran Baru. Dia menyebut barangkali ada yang berbeda antara sistem di luar negeri dan Indonesia.
"Menurut beliau salah, menurut saya benar. Bahwa proses kami, SOP kami begitu. Kalau di luar negeri mungkin SOP-nya lain dengan SOP kami. Kalau apakah ada confirming bank, tetap kami punya confirming bank, kami punya bank koresponden dan lain-lain," jawabnya.
Penasihat hukum Maria, Imam Santoso, kemudian memperjelas pertanyaan terdakwa. Dia menyebut terdakwa mempertanyakan mengapa BNI tetap bisa mencairkan L/C bukan dari bank koresponden.
"Maksud beliau begini, bank yang menerbitkan L/C itu bukan bank koresponden BNI, tapi kenapa L/C itu kok tetap bisa dicairkan?" tanya Imam.
Alimin pun menyebut penasihat hukum Maria harus bisa membandingkan teori dan realitas. Pada kenyataannya, saat itu, L/C tetap dicairkan tidak melalui bank koresponden.
"Jadi kita harus bedakan, teori dan realita. Teorinya mengatakan bahwa harus bank koresponden, dan kalau itu bukan bank koresponden kita akan minta bantuan bank koresponden untuk menghubungi bank yang bersangkutan. Realitanya bukan bank koresponden teman-teman cairkan, itu saya tidak tahu lagi, prosesnya begitu. SOP kami begitu," ujar Alimin.
Dalam sidang ini, Maria Lumowa didakwa melakukan perbuatan memperkaya diri melalui transaksi pencairan beberapa letter of credit (L/C) ke Bank Negara Indonesia (BNI). Maria juga didakwa merugikan negara sebesar Rp 1,2 triliun.
Maria Lumowa juga didakwa melakukan TPPU atas kasus pembobolan Bank BNI yang merugikan negara Rp 1,2 triliun. Jaksa menyebut TPPU yang dilakukan Maria Lumowa dalam kurun 2002-2003.
Jaksa menyebut Maria melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Terkait TPPU, Maria didakwa melanggar Pasal 3 ayat 1 huruf a atau Pasal 6 ayat 1 huruf a dan b UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU sebagaimana diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.