Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae berharap para hakim di pengadilan maupun para hakim agung di Mahkamah Agung memberikan putusan yang setimpal terkait tindak pidana pencucian uang. Hal ini diyakini dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku korupsi dan tindak pidana perbankan lainnya.
"Kami berharap sekali para aparat penegak hukum menyertakan pasal pencucian uang dalam menangani kasus korupsi dan kejahatan-kejahatan perbankan lainnya. Di pihak lain, para hakim dan MA juga harus dapat memberikan putusan-putusan yang suportif dengan yang telah dikerjakan PPATK dan aparat penegak hukum," kata Dian dalam program Blak-blakan di detikcom, Jumat (22/1/2021).
Sayangnya, dalam praktik sejauh ini, hal itu masih jauh panggang dari api, kurang menggembirakan. Dia memaparkan, sepanjang 2014-2020, ada 4.244 hasil analisis transaksi keuangan oleh PPATK. Tapi yang ditindaklanjuti aparat terkait cuma 53 persen, dan yang diputus pengadilan cuma 5 persen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau para pelaku tindak pidana korupsi hanya dituntut dengan pasal pidana asalnya, itu tidak akan membuat efek jera seperti yang terlihat selama ini. Apakah jerat pencucian uang dibuat terpisah atau bersama-sama dalam perkara korupsi, kata Dian, itu soal teknis jaksa penuntut umum.
Pengenaan pasal pencucian uang ini dapat memperbesar recovery asset atau mengganti kerugian negara yang terjadi. "Jadi kalau kerugian negaranya Rp 200 miliar, (dengan dijerat pasal pencucian uang) setidaknya bisa kembali Rp 190 miliar, misalnya. Syukur kalau bisa sama, Rp 200 miliar juga," ujar Dian.
Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sekalipun kesulitan memberantas praktik korupsi, kejahatan mafia narkoba, dan pidana lainnya tanpa menerapkan UU Pencucian Uang. Kalau dengan follow the money, biasanya kemudian dapat mengungkap semua jaringan pelaku kejahatan tersebut.
"Cuma itu tadi, perlu ada konsistensi antara dakwaan, tuntutan, dan putusan hakim," tegas Dian Ediana Rae.
(jat/idn)