Mantan Sekretaris NCB Interpol Polri, Komjen (Purn) Setyo Wasisto yakin status red notice Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra masih aktif sekitar 2014-2015. Setyo mengaku selama dia menjabat, tidak pernah mendapat laporan tentang terhapusnya nama Djoko Tjandra di sistem red notice Interpol pusat Lyon, Prancis.
Setyo menjabat sebagai Sekretaris NCB Interpol pada 2013-2015. Dia dihadirkan sebagai saksi di sidang dugaan penerimaan suap Irjen Napoleon Bonaparte di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (18/1/2021).
Hal itu diungkapkan Setyo saat pengacara Napoleon, Gunawan bertanya tentang surat nomor R/08/2/2015 Divhubinter Polri tertanggal 12 Februari 2015 yang dikirim Setyo kala menjabat sebagai Sekretaris NCB Interpol Polri ke Ditjen Imigrasi terkait daftar pencarian orang (DPO) Djoko Tjandra pada 2015. Padahal, menurut Gunawan, di 2015 red notice Djoko Tjandra sudah terhapus di sistem Interpol pusat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seingat saya ada pemberitahuan jika terhapus Juni, 6 bulan sebelumnya ada pemberitahuan Interpol Pusat. 2014 seingat saya nggak pernah ada pemberitahuan itu (terhapus)," kata Setyo dalam sidang.
"Kenapa Saudara yakin di 2015 red notice Djoko Tjandra masih berlaku?" tanya pengacara Napoleon, Gunawan.
Setyo menjelaskan alasan dia yakin dan bersurat ke Imigrasi perihal DPO Djoko Tjandra karena dia tidak pernah menerima pemberitahuan dari Interpol pusat kalau status red notice Djoko Tjandra terhapus. Polri juga saat itu tidak pernah mendapat teguran dari Interpol pusat.
"Pertama bahwa sesuai adendum dari Interpol Pusat 2014, masih muncul (red notice Djoko Tjandra), kemudian selama saya menjabat juga tidak pernah ada surat yang menyatakan bahwa red notice Djoko Tjandra sudah terhapus by sistem. Kami beberapa kali menyurat dengan menjadikan referensi red notice tahun 2009 tersebut, tidak pernah ditegur, atau diberi tahu Interpol Pusat bahwa itu (red notice) sudah terhapus," papar Setyo.
"Adendum menyebutkan status, atau kasus yang ditersangkakan kepada Joko Soegiarto Tjandra," tambah Setyo.
Dalam persidangan Tommy Sumardi yang juga merupakan terdakwa kasus red notice Djoko Tjandra, juga pernah mengungkapkan dirinya pernah berupaya menghapus red notice-nya ke London-Paris. Djoko Tjandra menyebut red notice-nya sudah terhapus di Interpol international sekitar 2014-2015.
"Ada (upaya penghapusan red notice) itu terjadi pada tahun 2013 atau 2014, saya nggak ingat persis. Karena dasarnya adalah putusan PK nomor 12 adalah putusan yang ne bis in idem atau yang kita kenal di Inggris, double jeopardy. Saya saat itu di Singapura," kata Djoko Tjandra saat bersaksi untuk Tommy Sumardi di PN Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakpus, Kamis (26/11/2020).
"Status buronan dan DPO Indonesia apa terhapus?" tanya jaksa.
"Di internasional saya nggak jadi buron. Orang yang dicari itu hanya di Indonesia, di imigrasi karena DPO masih tercatat di situ," kata Djoko saat itu.
Tanggapan Napoleon
Dalam sidang ini, Napoleon yang duduk sebagai terdakwa menyampaikan keberatan terhadap pernyataan Djoko Tjandra. Napoleon menyebut status Djoko Tjandra grounded sejak 2015.
"Kami kurang cocok dengan pendapat saksi bahwa di tahun 2015 saat saksi buat surat ini, bahwa status (red notice) Djoko Tjandra masih aktif, karena kenyataanya saat itu interpol rule statusnya (Djoko Tjandra) grounded, memang sudah terhapus, tapi nggak bisa ditangkap," kata Napoleon.
Dalam sidang ini yang duduk sebagai terdakwa adalah Irjen Napoloen. Dia didakwa menerima suap dengan nilai sekitar Rp 6 miliar dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Suap itu diberikan Djoko Tjandra agar Napoleon, yang menjabat Kadivhubinter Polri, mengupayakan penghapusan status buron.
Selain itu, Napoleon juga didakwa bersama Brigjen Prasetijo sebagai Kepala Biro Koordinator Pengawas (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri. Napoleon disebut jaksa menerima suap senilai SGD 200 ribu dan USD 270 ribu, jika dirupiahkan uang itu mencapai Rp 6 miliar lebih.