Kalimantan Selatan (Kalsel) banjir. Bencana itu muncul setelah hujan sangat ekstrem yang mengguyur kawasan Kalsel. Namun intensitas hujan ekstrem akan segera menurun.
"Hujan yang terjadi beberapa hari ini dan yang cukup lebat terjadi mulai tadi malam disebabkan oleh adanya daerah pertemuan atau pumpun angin di wilayah Kalimantan Selatan, yang akan menyebabkan penumpukan massa udara dan menyebabkan pertumbuhan awan yang cukup masif didaerah tersebut," kata Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca Jon Arifian di Jakarta, Sabtu (16/1/2021).
Jon Arifian berbicara lewat keterangan pers tertulis dari Balai Besar Teknologi Cuaca-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBTMC-BPPT). Dia menjelaskan curah hujan di Kalsel mencapai 270 mm per hari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banjir setinggi 2-3 meter melanda Kalimantan Selatan dan menyebabkan rumah warga terendam banjir. Hujan yang terjadi beberapa hari sebelumnya dan hujan ekstrem tadi malam merupakan penyebab terjadinya banjir. Pusat curah hujan tertinggi terletak di wilayah Kalimantan Selatan bagian barat dan selatan, seperti terlihat pada gambar peta intensitas curah hujan BMKG," ungkap Jon Arifian.
![]() |
Konvergensi angin terlihat lebih kuat sejak tadi malam. Ini berpengaruh pada hujan deras. Dari analisis vektor angin global pada 8-12 Januari 2021, wilayah Indonesia merupakan area pertemuan angin dari Samudra Pasifik (timur) dan Samudra Hindia (barat) yang menyebabkan pengumpulan massa udara di wilayah Indonesia bagian tengah.
Simak video 'Penampakan Banjir di Kalsel, Lebih 20 Ribu Orang Dievakuasi':
Selanjutnya, intensitas hujan bakal menurun:
Pengumpulan massa udara yang cukup masif berpotensi menyebabkan hujan ekstrem seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan. Kendati demikian, Jon mengatakan, peluang hujan di Kalimantan Selatan dalam beberapa hari ke depan berdasarkan beberapa prediksi ECMWF dan GFS akan berangsur menurun.
"Kalaupun ada hujan pada beberapa hari setelahnya, intensitasnya akan lebih ringan dari tanggal 14 dan 15 Januari 2021," tutur Jon.
Sementara itu, wilayah-wilayah lain, kata Jon, masih berpotensi terjadi hujan dengan intensitas lebat hingga ekstrem. Fenomena hujan ekstrem, lanjut Jon Arifian, memang kerap terjadi di Indonesia dan disebabkan oleh banyak hal.
"Cuaca dan iklim di Indonesia dipengaruhi faktor global, misalnya fenomena La Nina, MJO, dan angin monsoon dan lainnya. Seperti misalnya index Nino 3.4 saat ini menunjukkan nilai -0.57 yang menunjukkan wilayah Indonesia mengalami La Nina lemah. Selain itu, Maden Julian Oscilation (MJO) saat ini berada di kuadran 3 sehingga peningkatan aktivitas pertumbuhan awan berada di Samudra Indonesia sebelah barat Sumatera. Demikian juga dengan nilai IOD juga cenderung netral yaitu di nilai -0.24," kata Jon.
(dnu/idh)