Gugatan Brigadir TT, mantan polisi yang dipecat karena dinyatakan berorientasi seks sesama jenis (lesbian, gay, biseksual, transgender atau LGBT) kandas di palu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Gugatan TT dinyatakan sudah kedaluwarsa.
Hal itu tertuang dalam putusan PTUN Semarang yang dikutip detikcom, Senin (11/1/2021). Awalnya TT dipecat lewat Keputusan Kapolda Jateng tertanggal 27 Desember 2018.
Alasan Kapolda memecat TT karena melakukan homoseksual dengan seorang dokter di halaman parkir rumah sakit pada 14 Februari 2017 malam. TT kemudian dimintai pertanggungjawaban secara etik dan akhirnya diberhentikan dengan tidak hormat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan TT dipecat karena dinilai melanggar Kode Etik Profesi Polri, khususnya sangat mencoreng citra, soliditas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan institusi. TT juga dinilai tidak menaati dan menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal dan norma hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota Polri.
Hal itu sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal pasal 7 ayat (1) huruf b Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri yang berbunyi:
Setiap anggota Polri wajib menjaga dan meningkatkan citra, soliditas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan Polri.
Juga pasal 11 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri berbunyi 'Setiap anggota Polri wajib menaati dan menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal dan norma hukum'.
Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) yang ditonjolkan oleh TT merupakan bukti bahwa TT tidak mempedulikan kewajiban asasi yang juga diatur dalam undang-undang sebagaimana diatur bahwa hak asasi manusia wajib dilindungi, tetapi yang tidak boleh dilupakan adalah kewajiban asasi (dasar) manusia sebagaimana diatur dalam pasal 70 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 70 berbunyi:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Atas pemecatan itu, TT mengajukan perlawanan ke PTUN Semarang. Apa kata majelis?
"Dalam eksepsi. Menerima eksepsi tergugat tentang gugatan penggugat daluwarsa. Dalam pokok sengketa menyatakan gugatan penggugat tidak diterima," kata majelis hakim yang diketuai Eko Yulianto dengan anggota Andi Noviandri dan Ikawati Utami.
Majelis berkesimpulan, TT telah memilih melakukan upaya administratif keberatan tanggal 14 Oktober 2019 dan diterima Kapolda Jateng pada tanggal 15 Oktober 2019. Kemudian TT mengajukan gugatan tanggal 31 Agustus 2020.
"Oleh karenanya tenggang waktu pengajuan gugatan Penggugat telah lewat 90 hari sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) PERMA Nomor 6 Tahun 2018. Dengan demikian terhadap eksepi Tergugat mengenai gugatan Penggugat daluwarsa beralasan hukum untuk diterima," beber majelis pada Kamis (7/1) lalu.
Dalam persidangan, TT mengajukan berbagai keberatan atas pemecatan dirinya. Di antaranya:
1. Tenggat waktu pengajuan gugatan oleh PENGGUGAT terhenti/ditunda (geschorst) sejak tanggal 26 Maret 2019, maka sisa waktu 19 hari pengajuan gugatan baru kembali berjalan sejak pemberitahuan hasil putusan kasasi perkara nomor 15/G/2019/PTUN.SMG. Penggugat terima dan ketahui melalui kuasa hukum penggugat dalam perkara tersebut pada tanggal 14 Agustus 2020. berdasarkan perhitungan tersebut di atas, batas tenggat waktu terakhir untuk mengajukan gugatan kembali adalah tanggal 1 September 2020. Bahwa gugatan a quo diajukan pada tanggal 31 Agustus 2020 sehingga masih dalam batas tenggat waktu mengajukan gugatan kembali yang diperbolehkan oleh undang-undang.
2. Penggugat pada tanggal 18 Maret 2019 masih mendapatkan penghargaan dari pimpinan tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia berupa piagam tanda kehormatan satyalancana dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo atas pengabdian Penggugat dalam melaksanakan tugas pokok sebagai anggota Polri dengan menjunjung tinggi etika profesi secara konsisten selama 8 tahun menjadi anggota Polri, sehingga Penggugat menjadi teladan bagi anggota Polri yang lain.
3. UUD 1945 sebagai hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memiliki norma hukum mengikat telah menjamin setiap orang untuk tidak diperlakukan diskriminatif atas dasar apapun sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan "setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
4. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM (UU 39/1999) menyebutkan: Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
5. Indonesia sebagai salah satu negara anggota Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) telah mengakui prinsip-prinsip HAM internasional yang secara nyata dimanifestasikan dalam Amandemen UUD 1945, di mana segala ketentuan mengenai HAM dalam UUD 1945, termasuk Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, telah mengadopsi nilai-nilai HAM yang bersifat universal.
6. Unsur-unsur Pasal 7 ayat (1) huruf b PERKAP 14/2011 tersebut di atas yang dikenakan kepada Penggugat karena melakukan perbuatan seks sesama jenis sangat dipaksakan, karena perbuatan Penggugat tidak diketahui oleh khalayak umum, dan ditambah lagi sejak Penggugat menjadi anggota Polri di Desember 2008 hingga waktu kejadian, Penggugat mengalami peningkatan jenjang karir lancar dan tidak pernah tercatat melakukan perbuatan yang mencoreng kehormatan polisi.
7. Alasan hubungan seksual sesama jenis Penggugat tidak bisa dijadikan justifikasi untuk memberhentikan Penggugat secara tidak hormat dari dinas Polri karena alasan tersebut tidak masuk ke dalam kualifikasi perbuatan yang dapat dikatakan melanggar PERKAP 14/2011.
8. Setiap manusia terlahir dengan bebas dan setara dalam hak dan martabat yang dimiliki. Karena inilah setiap manusia memiliki kesetaraan dihadapan hukum. Kesetaraan di hadapan hukum dan kesetaraan perlindungan hukum membentuk prinsip non diskriminasi yang menyediakan landasan penikmatan hak asasi setiap orang tanpa pembedaan termasuk untuk latar belakang orientasi seksualnya.
9. Segala bentuk pelecehan, pelanggaran hak asasi, dan diskriminasi yang merendahkan martabat diri seseorang harus ditiadakan. Orientasi seksual dan identitas gender adalah bagian integral dari diri seseorang. Tindakan membedakan seseorang hanya karena orientasi seksual yang berbeda dengan mayoritas, mengandung makna bahwa orang dengan orientasi seksual tertentu lebih rendah daripada orang lainnya. Hal ini memperlihatkan bahwa perlakuan berbeda (diskriminatif) berdasarkan orientasi seksual adalah tindakan yang merendahkan martabat manusia. Dengan demikian, alasan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH ) penggugat karena orientasi seksual penggugat yang menyukai sesama jenis jelas bertentangan dengan asas nondiskriminasi.
10. Pemberhentian Penggugat dari dinas kepolisian akibat dijatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) bisa dikategorikan sebagai tindakan kesewenang-wenangan tergugat (abuse of power) yang telah melampaui kewenangannya karena telah tidak cermat atau tidak hati-hati menerapkan peraturan perundang- undangan serta bertentangan dengan AUPB dan bahkan bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), sebagaimana uraian di atas, sehingga secara nyata telah merugikan Penggugat dan bertentangan dengan asas tidak menyalahgunakan kewenangan.