Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mendesak Mahkamah Agung (MA) mencabut Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan. Sebab Perma itu nyata-nyata membatasi kerja jurnalistik.
"Mendesak Mahkamah Agung untuk segera mencabut ketentuan soal pengambilan foto, rekaman audio dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim. Ditambah lagi substansi aturan pengambilan foto dan rekaman sama dengan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan pada 7 Februari 2020 lalu yang telah dicabut MA," kata perwakilan KKJ dari YLBHI, M Isnur, dalam siaran pers yang diterima detikcom, Rabu (6/1/2021).
KKJ beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), serta Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Meminta Mahkamah Agung untuk tidak terus membuat ketentuan yang bisa membatasi jurnalis bekerja karena itu sama saja dengan menghambat kebebasan pers. Kami bisa mengerti bahwa Mahkamah Agung ingin menciptakan ketertiban dan menjaga kewibawaan pengadilan. Namun niat untuk itu hendaknya tidak membuat hak wartawan dibatasi," pinta Isnur.
"Sebab, hak untuk mendapatkan informasi itu ditetapkan oleh regulasi yang derajatnya lebih tinggi dari peraturan Mahkamah Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU Pers, yang berbunyi "Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi," papar dia.
Simak lanjutan berita di halaman berikutnya.
Peraturan MA yang di dalamnya mengatur pengambilan gambar, rekaman audio, dan rekaman audio visual tersebut sudah mulai diberlakukan. Ini seperti yang dilakukan Pengadilan Negeri Kelas IA Palembang pada Selasa 5 Januari 2020.
Ketua Pengadilan Negeri Kelas I Palembang Bombongan Silaban SH LLM yang memimpin jalannya persidangan kasus narkotika hanya memberikan kesempatan para jurnalis untuk mengambil foto dan video selama 10 menit sebelum sidang. Selanjutnya, para jurnalis pun tak diperkenankan lagi mengambil gambar dan video saat persidangan berlangsung.
"Ancaman pidana melalui kualifikasi tindakan mengambil gambar dan merekam tanpa seizin hakim sebagai penghinaan terhadap pengadilan akan menambah daftar panjang kasus kriminalisasi terhadap jurnalis. Ancaman pidana ini juga berlebihan karena semestinya dapat dilakukan secara bertahap mulai dari peringatan ringan, sedang, hingga berat," papar KKJ.
KKJ juga mendesak Mahkamah Agung untuk mengevaluasi Ketua Pengadilan Negeri Kelas I Palembang Bombongan Silaban SH LLM yang melarang jurnalis meliput persidangan kasus narkotika pada 7 Februari 2020 lalu. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kerja-kerja jurnalis dalam mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi.
"Karena itu, pelarangan tersebut dapat disimpulkan sebagai upaya menghambat dan membatasi jurnalis dalam melakukan kegiatan jurnalistik di ruang sidang," pungkas KKJ.