Legenda tragis dari Nyai Dasima mengambil latar peristiwa di Batavia, atau Jakarta tempo dulu. Apakah jejak-jejak Nyai Dasima masih terlacak?
Catatan paling lawas soal kisah hidup Nyai Dasima dibukukan oleh G Francis dalam 'Tjerita Njai Dasima'. Novelet (novel pendek) itu diterbitkan oleh Kho Tjeng Bie & Co pada tahun 1896. G Francis mengisahkan, Nyai Dasima hidup pada tahun 1813 di Batavia.
Ceritanya, Nyai Dasima hidup bersama Tuan Edward W (Tuan W) seorang Eropa. Mereka punya putri bernama Nanci. Nyai Dasima kemudian meninggalkan Tuan W demi hidup sebagai pribumi seutuhnya sebagai istri kedua Samiun di kampung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun tragisnya, Samiun hanya mengincar harta Nyai Dasima yang kaya raya itu. Puncaknya, Nyai Dasima dibunuh Samiun lewat preman suruhan bernama Bang Puasa. Mayatnya dibuang di sungai dan akhirnya menyangkut di aliran sungai dekat rumah Tuan W.
![]() |
Lokasi-lokasi
Berdasarkan tulisan G Francis, Nyai Dasima memang bukan berasal dari Batavia, namun di Kuripan, Bogor. Secara administratif, memang Bogor bukanlah kawasan Jakarta moderen saat ini, namun kawasan itu dinilai masih menjadi kawasan kebudayaan Betawi zaman dulu.
"Batas kultur tidak identik dengan batas administratif. Kuripan zaman dahulu masuk wilayah kawasan budaya Betawi. Di tahun 1800-an disebut sebagai Ommenlanden, sekarang Jabodetabek," kata Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Lembaga Kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra, kepada detikcom, Rabu (9/12/2020).
Setelah Nyai Dasima hidup bersama Edward W (Tuan W), maka pasangan antar-ras ini pindah ke kawasan Batavia, tepatnya di Gambir yang sekarang masuk dalam kawasan Jakarta Pusat.
![]() |
Pada era kolonial Hindia Belanda, kawasan yang disebut sebagai Jakarta Pusat pada saat ini dinamakan sebagai Weltevreden, yakni permukiman yang tenang di pinggir pusat kota. Dahulu kala, pusat kota Batavia Lama berada di kawasan yang saat ini disebut Kota Tua. Dahulu kala, tentu saja Jakarta belum sepadat sekarang.
"Tahun 1700-an, kawasan Jakarta Pusat (Weltevreden) itu masih menjadi tempat berburu satwa," kata Yahya Andi Saputra.
Lihat juga video 'Urban Legend: Menara Saidah dan Rumor Gedung Berhantu':
Selanjutnya, kawasan yang menjadi latar kisah Nyai Dasima:
Nyai Dasima dan Tuan W hidup di rumah gedongan di kawasan Gambir. Menurut Andi, mereka hidup di kawasan yang sekarang berada di sekitar Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Immanuel. Letaknya sekarang tak jauh dari Stasiun Gambir dan dekat dengan sungai. Dikisahkan, Tuan W dan anaknya sering mandi memanfaatkan sungai ini.
![]() |
Pada babak kisah selanjutnya, Nyai Dasima kemudian pergi meninggalkan Tuan W di Gambir dan menuju rumah Samiun dan Hayati, di kampung pribumi, kawasan Pejambon.
Saat ini, kawasan Gambir (Gereja Immanuel) dan Pejambon berimpitan. Kedua kawasan ini juga berada di sekitar sungai yang sama.
"Masyarakat zaman dahulu (bepergian) lewat pinggir kali. Dalam cerita itu Nyai Dasima merindukan kehidupan kampung. Maka dia nyaba ke kampung sebelah. Dia suka pada kawasan kampung karena merasa pulang kampung," kata Yahya.
![]() |
Ada pula Bang Puasa yang merupakan preman dari Kwitang. Lokasi kampung Kwitang juga masih berada di aliran sungai yang sama. Dahulu, sungai menjadi jalur transportasi, bisa menuju Pejambon (rumah Samiun) dan Gambir (rumah Tuan W).
![]() |
Di ujung cerita Nyai Dasima, putri pribumi itu dibunuh oleh Bang Puasa di pinggir kali. Mayatnya dihanyutkan dan akhirnya mengalir sampai ke rumah Tuan W di Gambir.
![]() |