Sebagai destinasi yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka dan Port Dickson di Malaysia, Dumai dan Rupat begitu rawan dengan kegiatan kriminal. Salah satu yang menjadi perhatian besar adalah terkait penyelundupan narkotika.
Diceritakan oleh Kepala Seksi PLI Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Gatot Kuncoro kepada detikcom di kantornya. Tak sedikit para oknum yang memanfaatkan Pulau Rupat karena kedekatannya dengan Malaysia.
"Seperti yang kita tahu, Pulau Rupat ini menjadi landing spot impor barang-barang ilegal, khususnya narkotika," terang Gatot beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dijelaskan olehnya, ada satu masalah fundamental yang kerap melatari terjadinya tindakan kriminal tersebut. Kembali lagi ke persoalan ekonomi yang sulit, apalagi di tengah pandemi seperti sekarang.
"Kita tahu bahwa transporter atau kurir narkoba itu rata-rata masyarakat di pesisir yang notabene mereka barangkali melakukan ini karena keterpaksaan, karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang layak dan cukup buat mereka ya," ujar Gatot.
Menurutnya, persoalan ekonomi itu masih jadi tantangan bersama, termasuk pihak Bea-Cukai. Dibutuhkan perhatian dan kerja sama semua pihak untuk mengurai simpul kusut tersebut.
Faktor seperti kurangnya mata pencarian di Pulau Rupat, disebut Gatot, menjadi pemicu bagi anak-anak muda setempat terjatuh ke dalam lingkaran setan bernama narkotika.
"Barangkali ini jadi semacam mata pencaharian ya dalam tanda kutip masyarakat Rupat yang dalam hal ini lapangan pekerjaan sangat kurang. Yang mungkin kalau Rupat ini diberdayakan sebagai anak dari kegiatan pariwisata barangkali akan bisa meningkatkan taraf ekonomi masyarakat sekitar dan barangkali bisa mengeliminir potensi-potensi kejahatan terutama penyelundupan narkotika," harap Gatot.
Lebih lanjut Gatot bercerita ia menyaksikan sendiri bahaya narkotika yang dapat mengancam masa depan generasi muda. Khususnya anak-anak yang berasal dari golongan kelas bawah yang sangat rentan.
"Saya pernah tinggal beberapa kali di wilayah perkampungan nelayan itu ya, anak-anak itu pertama memang secara ekonomi dari keluarga yang bisa dikatakan kurang mampu. Akses pendidikan di tengah pandemi juga sangat kurang dengan fasilitas internet. Jangankan beli pulsa, beli kebutuhan sehari-hari saja orang tuanya kerepotan," urai Gatot.
Yang tidak kalah perlu diwaspadai juga adalah terkait lingkungan di mana anak-anak dari kalangan bawah itu tinggal. Tak sedikit yang terjerumus lewat pengaruh teman sebaya.
"Bagaimana menjaga anak-anak ini agar kelak di kemudian hari tidak tersentuh dengan barang-barang berbahaya khususnya narkotika. Karena konon katanya, sudah mulai ada paket-paket ekonomis untuk anak-anak sekolah ini. Paket 10 ribu 5 ribu, bahkan mereka tidak sadar bahwa itu sangat berbahaya bagi kesehatan mereka, bagi masa depan mereka," ceritanya.
Baca juga: Melihat Ganasnya Abrasi Menggerus Rupat |
Bahaya yang paling serius, siapa pun yang terpapar narkotika cenderung sulit lepas dan malah jadi terlibat dalam tindakan kriminal itu. Ketika itu sudah terjadi, maka akan sulit untuk lepas.
Gatot pun menganalogikan anak-anak dari kalangan kecil itu sebagai anaknya sendiri, di mana masing-masing adalah anak yang baik dan lugu sekaligus rentan terpapar narkotika.
"Bagi saya ini anak-anak yang harus diselamatkan ya. Kita tidak bisa lagi melihat ini sebagai sesuatu yang biasa. Ini perlu diselamatkan, butuh satu hal konkret untuk menyelamatkan mereka. Apalagi anak-anak yang hidup sebatang kara ya," ucapnya.
Akhir kata, Gatot meminta agar semua pihak bahu-membantu untuk mengingatkan sekaligus terlibat dalam perlindungan anak-anak yang rentan narkotika tersebut. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Program Tapal Batas mengulas mengenai perkembangan infrastruktur, ekonomi, hingga wisata di beberapa wilayah terdepan khususnya di masa pandemi. Untuk mengetahui informasi dari program ini ikuti terus berita tentang Tapal Batas di tapalbatas.detik.com!
(mul/ega)