Kasus Mensos terkait Bencana tapi Ancaman Pasalnya Bukan Hukuman Mati, Kenapa?

Kasus Mensos terkait Bencana tapi Ancaman Pasalnya Bukan Hukuman Mati, Kenapa?

Tim detikcom - detikNews
Minggu, 06 Des 2020 10:51 WIB
Penyidik KPK menunjukan barang bukti uang tunai saat konferensi pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) tindak pidana korupsi pada program bantuan sosial di Kementerian Sosial untuk penanganan COVID-19 di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020) dini hari. Dalam operasi tangkap tangan itu KPK menetapkan lima tersangka yakni Menteri Sosial Juliari P Batubara, pejabat pembuat komitmen di Kemensos Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono dan pihak swasta Ardian IM dan Harry Sidabuke  serta mengamankan uang dengan jumlah Rp14,5 miliar. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/rwa.
Barang bukti yang ditunjukkan KPK dalam OTT yang menjerat Mensos Juliari Batubara (Hafidz Mubarak A/Antara Foto)
Jakarta -

Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara dijerat KPK sebagai tersangka penerimaan suap terkait bantuan sosial (bansos) untuk penanganan pandemi virus corona (COVID-19). Pemilik nama lengkap Juliari Peter Batubara itu diduga menerima jatah untuk setiap sembako sebagai bansos penanganan COVID-19 di wilayah Jabodetabek.

Awalnya tim KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap 6 orang pada Sabtu, 5 Desember 2020 sekitar pukul 02.00 WIB. Identitas keenam orang itu adalah:

1. Matheus Joko Santoso alias MJS sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kementerian Sosial (Kemensos);
2. Wan Guntar alias WG sebagai Direktur PT Tiga Pilar Agro Utama (PT TPAU);
3. Ardian IM alias AIM sebagai swasta;
4. Harry Sidabuke alias HS sebagai swasta;
5. Shelvy N alias SN sebagai seorang sekretaris di Kemensos; dan
6. Sanjaya alias SJY sebagai swasta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pada tanggal 4 Desember 2020, Tim KPK menerima informasi dari masyarakat akan adanya dugaan terjadinya penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggara negara yang diberikan oleh AIM dan HS kepada MJS, AW dan JPB. Sedangkan khusus untuk JPB pemberian uangnya melalui MJS dan SN," ucap Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di kantornya pada Minggu (6/12/2020) dini hari.

Konstruksi Kasus

ADVERTISEMENT

Adanya pandemi COVID-19 ini membuat Kemensos mengadakan paket sembako senilai Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak yang dilaksanakan dalam 2 periode. Mensos Juliari Batubara lantas menunjuk Matheus Joko Santoso dan seorang lagi bernama Adi Wahyono alias AW sebagai PPK.

"Saudara JPB selaku Menteri Sosial MJS dan AW sebagai PPK dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS," kata Firli.

"Untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bantuan sosial," imbuhnya.

Lalu dari bulan Mei hingga November 2020 dibuatlah kontrak pekerjaan dengan sejumlah penyedia sebagai rekanan di antaranya Ardian IM, Harry Sidabuke, serta PT Rajawali Parama Indonesia (PT RPI) yang diduga milik Matheus Joko Santoso sendiri. Penunjukan PT RPI ini diduga diketahui Juliari Batubara sebagai Mensos dan disetujui Adi Wahyono.

"Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee kurang lebih sebesar Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar," ucap Firli.

Uang itu lantas dikelola Eko alias EK dan Shelvy N yang disebut sebagai orang kepercayaan Mensos Juliari Batubara. Uang itu disebut KPK digunakan untuk keperluan pribadi Juliari Batubara.

"Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB," imbuh Firli.

Simak video 'Usai Mensos, Kini Giliran PPK Kemensos Serahkan Diri ke KPK':

[Gambas:Video 20detik]



Lalu siapa saja tersangka yang dijerat?

Penetapan Tersangka

Dari konstruksi kasus itu KPK menetapkan 5 orang tersangka yaitu sebagai berikut:

Sebagai penerima:
1. Juliari Peter Batubara
2. Matheus Joko Santoso
3. Adi Wahyono

Sebagai pemberi:
4. Ardian IM
5. Harry Sidabuke

Berkaitan dengan pandemi COVID-19, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada April 2020 telah meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 yang menetapkan COVID-19 sebagai bencana nasional. Pandemi itu disebut sebagai bencana nonalam.

"Menyatakan bencana nonalam yang diakibatkan oleh penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional," kata Jokowi dalam Keppres Nomor 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional, yang dikutip detikcom.

Keppres itu ditandatangani pada Senin, 13 April 2020 di Jakarta. Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Dalam aturan hukum di Indonesia ada peluang hukuman mati bagi koruptor bila berkaitan dengan bencana. Aturan itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tepatnya pada Pasal 2 ayat 2.

Pasal 2 tersebut mengatur hukuman bagi koruptor, di mana hukuman mati menjadi salah satu opsinya. Pasal 2 UU tersebut berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Namun penerapan hukuman mati itu tidak sembarangan. Hukuman tersebut hanya dapat diterapkan dalam keadaan tertentu. Syarat tersebut dituangkan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2.

"Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter," demikian bunyi penjelasan tersebut.

Lantas apakah pasal yang menjerat Mensos Juliari Batubara dkk termasuk dalam kategori di atas?

Mensos Juliari Batubara disangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Lalu, Joko Santoso dan Adi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sedangkan tersangka pemberi disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bila diperhatikan tidak ada pasal korupsi dengan ancaman hukuman mati yang diterapkan oleh KPK untuk Mensos Juliari Batubara dkk. Mensos Juliari Batubara dkk dijerat berkaitan dengan pasal suap, bukan korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara. Berikut penjelasan pasalnya:

Pasal 12 huruf a dan huruf b

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000:
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

Pasal 11

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 250.000.000 pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Pasal 12 huruf i

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000:
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.

Perihal ancaman hukuman mati terkait bencana dijelaskan Firli Bahuri lebih lanjut. Seperti apa?

Ketua KPK soal Kemungkinan Penerapan Ancaman Hukuman Mati

Firli Bahuri sendiri telah menjelaskan mengenai pengenaan pasal untuk Mensos Juliari Batubara dkk berkaitan dengan kemungkinan penerapan tuntutan hukuman mati. Firli menyoroti mengenai kerugian keuangan negara di balik perbuatan Mensos Juliari Batubara dkk itu.

"Kita paham di dalam penentuan UU 31 tahun 1999 yaitu pasal 2 tentang penindakan, yaitu barang siapa yang telah melakukan perbuatan dengan sengaja memperkaya diri atau orang lain dengan melawan hukum sehingga mengakibatkan kerugian negara," kata Firli.

Firli mengatakan dalam UU itu memang ada aturan hukum mati. Dalam kasus korupsi bantuan sosial ini, Firli mengatakan KPK akan bekerja berdasarkan keterangan saksi dan bukti.

"Kedua memang ada ancaman hukum mati. Kita paham juga bahwa pandemi COVID-19 ini dinyatakan oleh pemerintah bahwa ini adalah bencana non alam sehingga tentu kita tidak berhenti sampai di sini apa yang kita lakukan kita masih akan terus bekerja terkait dengan bagaimana mekanisme pengadaan barang jasa untuk bantuan sosial di dalam pandemi COVID-19. Tentu nanti kita akan bekerja berdasarkan keterangan saksi dan bukti apakah bisa masuk ke dalam pasal 2 UU 31 Tahun '99," tutur dia.

Firli mengatakan KPK masih terus bekerja keras untuk mengembangkan kasus. Jadi dapat ditemukan ada atau tidaknya tindakan pidana yang merugikan keuangan negara dalam kasus korupsi ini.

"Saya kira kita masih memang bekerja keras untuk membuktikan ada-tidaknya tindak pidana yang merugikan uang negara sebagaimana dimaksud pasal 2 itu," katanya.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads