PBB telah menyetujui penggunaan ganja untuk keperluan di bidang medis. Politikus PDIP Rahmad Handoyo menolak jika keputusan itu diberlakukan di Indonesia.
"Kita tegas menolak aturan yang telah diputuskan lewat voting, berlaku di Indonesia karena berbahaya buat anak bangsa," kata Handoyo kepada wartawan, Jumat (4/12/2020).
Saat ini memang banyak negara sudah melakukan pelonggaran dalam menggunakan ganja untuk keperluan medis. Namun, menurutnya, manfaat ganja tidak sebanding dengan risiko dan bahaya ditimbulkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Manfaat ganja tidak sebanding risiko bahayanya buat anak bangsa," ujarnya.
Meski begitu, anggota Komisi IX DPR RI ini tetap menghormati keputusan yang diambil PBB. Dia mengingatkan, Indonesia memiliki aturan tegas yang menolak keputusan itu.
"Meskipun keputusan ini telah diambil, namun kita punya amanah rakyat yang harus dihormati oleh siapa pun juga, termasuk WHO dan PBB sekalipun, yaitu UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Narkotika," ujarnya.
"Di mana ganja diatur tegas bahwa ganja diatur pelarangannya, dan masuk dalam golongan 1, dengan penyalahgunaan diancam hukuman mati paling berat," sambung Handoyo.
PBB telah menghapus ganja dari daftar obat berbahaya di dunia, simak berita selengkapnya di halaman berikutnya.
Untuk diketahui, Komisi Obat Narkotika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya memutuskan menghapus ganja dari kategori obat paling berbahaya di dunia, dan disetujui untuk keperluan medis. Keputusan ini diambil dari hasil voting yang dilakukan PBB dari 53 negara anggota.
Sejak Januari 2019, rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menghapus ganja dari Jadwal IV Konvensi Tunggal 1961 tentang Narkotika, yang memasukkannya ke daftar opioid berbahaya dan adiktif seperti heroin.
Menurut peneliti dan Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Balitbangtan, Dr Evi Savitri, penggunaan ganja seperti di Indonesia memang sudah diatur sebagai narkotika golongan 1, yang artinya untuk keperluan pengobatan pun tidak diperbolehkan. Namun tetap ada peluang untuk mengembangkan ganja medis.
"Tetapi untuk pengembangan medis masih ada peluang selama itu dilakukan oleh lembaga yang memang kompeten memperoleh izin untuk melakukan kegiatan penelitian," jelas Dr Evi saat dihubungi detikcom Jumat (4/12).
"Jadi sebenarnya juga kita ada (penelitian) walaupun kecil, tetapi memang mungkin tidak diumumkan secara ini ke publik," bebernya.