Komisi Obat Narkotika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menghapus tanaman ganja dari kategori obat paling berbahaya. PKB mendukung keputusan tersebut apabila digunakan untuk keperluan medis, namun tetap dengan pengawasan ketat.
"Kalau untuk medis, kita harus dukung, dengan pengawasan yang superketat," kata Waketum PKB Faisol Riza kepada wartawan, Jumat (4/12/2020).
Ketua Komisi VI DPR RI ini menilai Indonesia perlu melakukan hal serupa. Khususnya bila sudah tidak ada alternatif pengobatan lain di bidang medis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk medis harus kita lakukan jika memang tidak ada alternatif lain untuk pengobatan," ujar Faisol.
Kendati demikian, Faisol juga menyoroti pentingnya masukan dan pandangan masyarakat terkait pengobatan yang menggunakan ganja. Ia juga menekankan pentingnya restu dari para tokoh agama.
"Yang diperlukan adalah pandangan para tokoh agama agar motif pengobatan ini mendapatkan blessing," katanya.
Lebih lanjut Faisol menyoroti potensi penyalahgunaan ganja. Karena itu, ia mendorong agar ada regulasi ketat yang mengatur dan mengawasi ganja sebagai narkotika.
"Selain itu, pemerintah harus mengatur regulasinya dengan ketat sehingga tidak ada penyalahgunaan, termasuk memperketat pengawasan. Ini juga akan berimplikasi pada beberapa ketentuan hukum khususnya ganja sebagai narkotika," ujar Faisol.
Seperti apa awalnya PBB menghapus ganja dari obat berbahaya? Simak selengkapnya di halaman selanjutnya:
Sebelumnya, Komisi Obat Narkotika PBB memutuskan menghapus ganja dari kategori obat paling berbahaya di dunia, dan disetujui untuk keperluan medis. Keputusan ini diambil dari hasil voting yang dilakukan PBB dari 53 negara anggota.
Dari 53 negara, sebanyak 27 suara mendukung dan mengizinkan ganja untuk penggunaan medis. Sementara itu, 25 suara lainnya merasa keberatan dan satu abstain. Perubahan kategori ini dilakukan untuk mempermudah jalan industri medis menggunakan ganja untuk keperluan pengobatan.
Sejak Januari 2019 lalu, rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menghapus ganja dari Jadwal IV Konvensi Tunggal 1961 tentang narkotika, yang memasukkannya ke dalam daftar opioid berbahaya dan adiktif seperti heroin.
Menurut peneliti dan Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Balitbangtan Dr Evi Savitri, penggunaan ganja seperti di Indonesia memang sudah diatur sebagai narkotika golongan 1, yang artinya untuk keperluan pengobatan pun tidak diperbolehkan. Namun tetap ada peluang untuk mengembangkan ganja medis.
"Tetapi untuk pengembangan medis masih ada peluang selama itu dilakukan oleh lembaga yang memang kompeten memperoleh izin untuk melakukan kegiatan penelitian," jelas Dr Evi saat dihubungi detikcom Jumat (4/12).