PBB merestui ganja untuk keperluan penggunaan medis. PAN mengatakan Indonesia akan merugi jika tidak mengikuti arus global.
"Justru menurut saya kalau kita tidak mengikuti arus global itu malah bisa rugi sendiri karena, di Indonesia ini, ganja dibiarin aja tumbuh begitu," kata Saleh kepada wartawan, Jumat (4/12/2020).
Anggota Komisi IX DPR RI ini tidak mempermasalahkan jika ganja digunakan untuk keperluan medis. Menurut Saleh, yang harus dilarang adalah penyalahgunaan ganja di luar bidang medis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, yang tidak boleh itu ya penyalahgunaannya, digunakan bukan untuk sarana medis. Kalau untuk medis, kan nggak apa-apa. Kalau dalam keadaan darurat, itu ya boleh untuk medis. Saya dengar itu bisa untuk medis yang ada kebutuhan," katanya.
Dihubungi secara terpisah, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN Intan Fauzi mengatakan penggunaan ganja di Tanah Air juga dimungkinkan apabila sesuai kebutuhan. Namun ia memberikan sejumlah catatan kritis mengenai hal itu.
"Nah, kalaupun akan dipakai sebagai obat di dunia medis, ya kalau menurut saya, dimungkinkan tapi dengan tiga ketentuan," ujarnya.
Menurut Intan, ganja harus mendapat izin edar dari Badan POM (BPOM) dan diawasi secara ketat. Selain itu, perlu ada rekomendasi dokter ataupun ahli mengenai penggunaan ganja.
"Harus mendapat izin edar dari Badan POM. Kedua, dengan resep dokter dan pengawasan yang ketat, tidak dijual bebas. Ketiga, klasifikasinya yang ditentukan oleh dokter ahli farmakologi dan farmasi Indonesia," katanya.
Selain itu, Intan menyarankan agar ada regulasi khusus yang mengatur ganja. Misalnya seperti perangkat hukum yang ketat.
"Karena memang mudah didapat sehingga harus disiapkan perangkat hukum atau aturan yang ketat dan penegakannya," ucapnya.
Diketahui sebelumnya, Komisi Obat Narkotika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya memutuskan untuk menghapus ganja dari kategori obat paling berbahaya di dunia, dan disetujui untuk keperluan medis. Keputusan ini diambil dari hasil voting yang dilakukan PBB dari 53 negara anggota.
Dari 53 negara, sebanyak 27 suara mendukung dan mengizinkan ganja untuk penggunaan medis. Sementara 25 suara lainnya merasa keberatan dan satu abstain. Perubahan kategori ini dilakukan untuk mempermudah jalan industri medis menggunakan ganja untuk keperluan pengobatan.
Sejak Januari 2019, rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menghapus ganja dari Jadwal IV Konvensi Tunggal 1961 tentang narkotika, yang memasukkannya ke dalam daftar opioid berbahaya dan adiktif seperti heroin.
Menurut peneliti dan Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Balitbangtan, Dr Evi Savitri, penggunaan ganja seperti di Indonesia memang sudah diatur sebagai narkotika golongan 1, yang artinya untuk keperluan pengobatan pun tidak diperbolehkan. Namun, tetap ada peluang untuk mengembangkan ganja medis.
"Tetapi untuk pengembangan medis masih ada peluang selama itu dilakukan oleh lembaga yang memang kompeten memperoleh izin untuk melakukan kegiatan penelitian," jelas Dr Evi saat dihubungi detikcom Jumat (4/12).
"Jadi sebenarnya juga kita ada (penelitian) walaupun kecil, tetapi memang mungkin tidak diumumkan secara ini ke publik," bebernya.