Tak ada yang tak mungkin di dunia ini, bahkan seseorang yang pernah terjerumus ke dunia kelam bisa kembali ke jalan yang benar. Itulah jalan hidup yang dialami oleh Sulaiman (34) atau yang biasa dipanggil Leman.
Saat kunjungan ke Pulau Rupat, Bengkalis, Riau dalam kegiatan Tapal Batas bersama BRI, detikcom berkesempatan mengobrol secara langsung dengan Leman. Di sebuah rumah kayu yang sederhana dengan dikelilingi pohon karet, Leman bercerita masa-masa kelam yang pernah ia alami.
Pada awalnya Leman bercerita dirinya mengikuti orang tua jadi susah dan senang ia jalani bersama orang tua. Sekitar tahun 2007 pun ia memutuskan untuk memilih hidup sendiri bersama istrinya. Ia pun bercerita sebelum memutuskan menjadi petani karet, banyak pekerjaan yang ia tekuni mulai dari nelayan hingga penebang liar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu ya sebelum karet kadang-kadang kita ngikut nelayan, kadang-kadang ngikut dulu ada namanya illegal logging ngikut orang motong-motong kayu. Ya kadang-kadang begitu lah pak namanya kita cari rezeki kan macam mana kita mau bekerja untuk membesarkan anak ya kan kita punya anak," tutur Leman kepada detikcom beberapa waktu yang lalu.
Namun, lanjut Leman, ia pun sadar kalau hal tersebut bukanlah hal yang benar dan akhirnya memutuskan untuk membuka lahan karet karena ajakan temannya. Dari sinilah ia akhirnya menggantungkan nasib menjadi petani karet.
Tetapi bukan berarti Leman tidak memiliki kendala selama menggeluti usaha ini. Sebut saja cuaca yang kurang mendukung untuk menyadap atau yang biasa disebut oleh masyarakat Rupat deres yaitu adalah kegiatan membuka pembuluh latek untuk mengeluarkan getahnya.
"Ya kendalanya kita jangan hujan aja, kalau hujan memang kita nggak bisa deres gitu. Kalau misalkan mendung ya mikir-mikir lah kita deresnya gitu, daripada kita ancur ya kan," jelas Leman.
Penghasilannya yang diterima Leman pun tidak menentu terkadang bisa mencapai 400 kg sekali panen dan harga jualnya Rp 8.000/kg hingga Rp 10.000/kg. Sementara di masa pandemi ini harga karet di Pulau Rupat dipatok seharga Rp 9.000/kg.
"Terakhir itu kita jual 340 kg, itu kan karena tergantung cuaca ya jadi lahan yang saya miliki (6 hektar) bisa semuanya tidak menghasilkan kadang-kadang penghasilannya Rp 4 juta, kadang lebih kadang kurang," ungkapnya.
Namun yang menjadi masalah utama Leman adalah cuaca di Pulau Rupat yang saat ini sedang memasuki musim hujan.
"Ya ibaratnya kalau karet ini tergantung pada cuaca, kadang-kadang ada yang 400 kg kadang-kadang 350kg ya tergantung cuaca kalau daerah sini. Ya namanya kadang ada pohon yang kulitnya mati, getahnya kurang. Jadi kadang kalau kita ada rezeki yang kita pupuk kalau tidak ada ya macam mana mau kita pupuk," imbuh Leman.
Untuk menopang usahanya, Leman memanfaatkan KUR dari BRI. Dari awalnya ia memiliki 2 hektar pohon karet, berkat KUR dirinya bisa mempunyai 6 hektar lahan karet. Ia pun sudah mengambil KUR sejak tahun 2010 dan sudah meminjam selama 5 kali untuk memajukan usahanya.
"Pertama saya ngambil 15 juta, kedua 25 juta, ketiga 15 juta lagi, yang keempat 15 juta, yang kelima ini 25 juta. Alhamdulillah juga tidak tersendat. Jadi buat saya KUR BRI sangat membantu, apa yang kita rencanakan bisa tercapai, bisa bikin apa yang kita mau, uang yang kita ambil tidak kita sia-siakan dan bisa kita manfaatkan.
Ia mengatakan KUR sangat membantunya dalam melakukan usaha menjadi petani karet. Karena dengan adanya KUR cita-citanya bisa terbantu seperti membeli kendaraan dan juga modal usaha.
"Contohnya fasilitas kita kan nggak ada, mau beli kereta motor nah kita ambil dari uang itu kan, jadi untuk modal usaha kita juga dan ke depannya bisa untuk membantu-bantu masyarakat juga pastinya. Kalau ada rezeki dari BRI ini kita sih mau buat bantu-bantu rumah buat kedai kecil-kecilan, untuk bangun usaha rumahan," pungkas Leman.
Program Tapal Batas mengulas mengenai perkembangan infrastruktur, ekonomi, hingga wisata di beberapa wilayah terdepan khususnya di masa pandemi. Untuk mengetahui informasi dari program ini ikuti terus berita tentang Tapal Batas di tapalbatas.detik.com!
(prf/ega)