Dunia perbukuan mengalami disrupsi ganda, akibat perkembangan teknologi dan deraan pandemi COVID-19. Tak ada pilihan bagi industri perbukuan, selain melakukan perubahan agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Kepala Badan Litbang dan Perbukuan Kemendikbud, Totok Suprayitno, menilai buku-buku yang beredar saat ini, termasuk yang diterbitkan oleh Kemendikbud, belum cukup merefleksikan dinamika global.''Harus ada reformasi besar-besaran supaya cocok dengan kebutuhan pembelajaran di masa depan," kata Totok saat mengisi acara Munas ke-19 Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) hari kedua, Kamis (26/11) di Jakarta.
Baca juga: Kecakapan Literasi Jangan Memicu "Pergi" |
Dinamika global, dia melanjutkan, telah melahirkan tantangan bagi dunia pendidikan, termasuk berimplikasi terhadap ekosistem perbukuan. Setahun lalu dinamika itu baru bersumber pada disrupsi teknologi. Dunia perbukuan harus bersiap dalam berbagai adaptasi, misalnya dengan pengembangan buku digital, mengombinasikan teks dengan video dan wahana lain yang bisa menjadi perangkat ajar yang jauh lebih menarik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2020, pandemi memaksa percepatan adopsi teknologi terhadap semua aspek kehidupan masyarakat. Tuntutan pekerjaan berubah. Ada pekerjaan yang hilang, tapi ada pekerjaan dan jenis kemampuan (skill) baru yang muncul. "Terlihat pergeseran tuntutan kompetensi orang yang bekerja," ujar Totok.
Ia berharap buku-buku yang terbit saat ini merefleksikan perubahan tersebut. "Apakah buku-buku kita sudah cukup membekali anak-anak untuk pekerjaan yang emerging di masa depan?" ujarnya.
Sebagaimana karakter pekerjaan yang bertahan di masa depan, buku juga harus mencerminkan pembelajaran berorientasi pada keterampilan berpikir tinggi (HOTS). Ciri-cirinya antara lain kemampuan menyelesaikan masalah yang kompleks, kemampuan interpersonal, kritis, kreatif, dan kemampuan beradaptasi terhadap ketidakpastian.
(jat/jat)