Program Ngobrol Sore Semaunya (NSS) masuk episode 14. Kali ini Putri Tanjung berbincang dengan pengusaha sekaligus eks Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan. Gita banyak menceritakan tentang pengalamannya di Amerika Serikat hingga soal industri kreatif.
Perbincangan Putri dengan Gita Wirjawan ditayangkan di akun YouTube CXO Media, Kamis (26/11/2020). Mengawali perbicaraan, Putri bertanya seberapa sering Gita Wirjawan membaca buku.
"Kurang lebih 1 buku per minggu," kata Gita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gita mengatakan dirinya rajin membaca sejak tahun 2010. Selain itu, Gita bercerita jika dirinya mampir ke toko buku, ia membeli buku dengan topik yang bermacam-macam.
"Saya ambil top ten-nya aja, saya nggak lihat topik," imbuhnya.
Kemudian, Gita mengungkap ketika masa-masa sulitnya saat pertama kali merantau ke Amerika Serikat. Demi memenuhi kebutuhan hidupnya, Gita melakukan sejumlah pekerjaan sampingan mulai dari cuci piring, membersihkan toilet, hingga main piano.
"Kebetulan saya ada bakat main piano, ya diberdayakan lah. Itu seminggu kerja mungkin 40 jam sambil ngambil kelas 5 sampai 7 semester," tutur Gita.
Gita dibayar USD 3 untuk cuci piring dan membersihkan toilet, sedangkan untuk bermain piano, Gita dibayar USD 25. Ia menyebut bermain piano lebih menguntungkan karena ada tip dari pendengar.
"Tip kadang-kadang bisa USD 50," sebutnya.
Selanjutnya, Gita bercerita tentang cita-cita masa kecilnya. Mulanya ia bercita-cita menjadi musisi. Namun, karena tidak disetujui oleh ibunya, akhirnya Gita belajar akuntansi hingga menjadi banker.
Karena ia dikelilingi oleh orang-orang yang menggeluti wirausaha, akhirnya ia memutuskan banting stir menjadi pengusaha. Saat itu, Gita membuat usaha private equity, yakni terkait pengelolaan dana dari sejumlah institusi dan diinvestasikan di real estate dan sumber daya alam.
"Alhamdulillah (hasilnya) oke," jelas Gita.
Gita kemudian menyinggung industri kreatif Indonesia dan membandingkannya dengan industri kreatif Korea. Simak di halaman berikutnya
Di kesempatan yang sama, Gita turut menyinggung soal industri kreatif Indonesia. Ia berharap tahun 2045, industri kreatif Indonesia harus lebih unggul dari Korea Selatan.
Menurutnya, Indonesia memiliki sumber daya manusia yang banyak dibanding Korea Selatan. Sehingga, sebut dia, ada kemungkinan dunia hiburan Indonesia bisa mengungguli Korea Selatan.
"Nggak tahu gimana Parasite (film Korea Selatan) menang Oscar, nggak tahu gimana K-pop meng-global, dan menurut saya, mungkin dangdut bisa kita duniakan, bisa kita globalkan," ujar Gita.
Gita menginginkan pemuda-pemuda Indonesia dikenal tidak hanya sebagai orang yang kreatif, tapi juga orang yang cerdas dan berbudaya. Sehingga nama Indonesia akan semakin dikenal luas.
"Bukan hanya nyanyi atau joget saja," lanjutnya.
Putri Tanjung kemudian bertanya, bagaimana cara agar industri kreatif Indonesia mengalahkan Korea. Gita menjawab Indonesia harus memiliki narator.
"Kita payah dalam hal bercerita," kata Gita dalam Bahasa Inggris.
Gita menjelaskan banyak cara menjadi narator. Salah satunya dengan perbanyak baca buku dan melihat referensi di internet.
"Kamu mau jadi pesulap, mau jadi tukang las, mau jadi pembawa acara talk show, bisa belajar dari YouTube. Tinggal kita niat apa nggak?" sambung Gita.
Gita mengaku mulanya ia takut berbicara di depan umum. Bahkan, ketika bekerja di Amerika, ia tak bisa berbicara baik di depan kliennya meski ia tahu jawabannya. Kemudian ia berlatih berbicara secara terus menerus di depan cermin.
"20 menit aja sehari selama 2 tahun," terangnya.
Setelah melakukan hal tersebut, Gita lancar berbicara baik dengan kliennya maupun di hadapan orang banyak.
Di akhir sesi, Putri Tanjung menanyakan soal tujuan akhir yang ingin dicapai oleh Gita. Eks Mendag itu menginginkan menjadi guru. Menurutnya, menjadi guru adalah hal yang mulia.
"Saya kalau udah di kelas, ngajar, nggak tahu gimana, im on different planet," tuturnya.