Anies Baca 'How Democracies Die', PD Bandingkan Demokrasi di Era SBY

Anies Baca 'How Democracies Die', PD Bandingkan Demokrasi di Era SBY

Rolando Fransiscus Sihombing - detikNews
Senin, 23 Nov 2020 13:06 WIB
HERMAN KHAERON
Herman Khaeron (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunggah foto dia sedang membaca buku berjudul 'How Democracies Die' di akun media sosialnya. Partai Demokrat (PD) menyinggung soal kondisi demokrasi saat ini yang dinilai tidak sehat.

"Pastinya harus bertanya kepada Mas Anies Baswedan. Namun, jika melihat kondisi, demokrasi saat ini memang sedang tidak sehat," kata Kepala BPOKK Partai Demokrat Herman Khaeron kepada wartawan, Senin (23/11/2020).

Herman membandingkan kondisi demokrasi saat ini dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Herman menilai demokrasi era SBY berkembang dengan baik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bisa kita bandingkan dengan situasi politik di era Presiden SBY, demokrasi tumbuh, keadilan berlaku untuk semua, dan hukum tidak tebang pilih," ujar Herman.

"Ya silakan dibandingkan dengan era presiden SBY, itulah hakikatnya demokrasi. Bahkan media bebas mengkritik pemerintah," tambahnya.

ADVERTISEMENT

Herman kemudian menyoroti kondisi demokrasi saat ini. Dia menganggap kondisi saat ini terkesan hilangnya nilai reformasi.

"Ada banyak aktivis yang kritis diperkarakan dan dinyatakan bersalah, seakan-akan nilai-nilai reformasi telah hilang," imbuhnya.

Sejumlah politisi dari berbagai partai juga telah meresponsnya, simak di halaman berikutnya.

Anies Dianggap Cari Perhatian
Golkar DKI menilai ada dua kemungkinan mengapa Anies mengunggah foto sedang membaca buku berjudul 'How Democracies Die'. Kemungkinan pertama, yakni Anies sedang mencari perhatian.

"Kan biasa Pak Gubernur begitu, lagi cari perhatian atau lagi mengalihkan perhatian juga mungkin," ujar Ketua Fraksi Golkar DPRD DKI Jakarta, Basri Baco, saat dihubungi, Minggu (22/11).

Basri meminta Anies lebih fokus mengurus rakyat Jakarta. Terlebih, menurutnya, banyak janji kampanye Anies yang belum terpenuhi.

"Seharusnya fokus urus rakyat Jakarta sajalah, banyak janji kampanye yang belum dipenuhi," kata Basri.

Foto Anies Baca Buku 'How Democracies Die' Dianggap Gimik
PDIP DKI meminta Anies tidak terlalu banyak gimik. Partai berlambang banteng moncong putih itu meminta Anies lebih fokus pada penanganan pandemi Corona (COVID-19).

"Daripada memperbanyak gimik, saran saya, Pak Anies lebih tekun dan konsentrasi saja sama penanganan COVID-19 di Jakarta yang meningkat tajam akhir-akhir ini, buah dari ketidaktegasan beliau," kata Wakil Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Ima Mahdiah kepada wartawan, Minggu (22/11).

Selain itu, Ima menilai seharusnya Anies fokus ke pembahasan masalah di DKI ketimbang menyampaikan gimik politik seperti ini. "Dan juga pembahasan APBD 2021. Itu lebih penting daripada menyampaikan pesan-pesan politik seperti ini," tegas Ima.

Buku 'How Democracies Die' Dinilai Tak Relevan dengan Kondisi RI
Politisi senior PDIP Andreas Hugo Pareira menilai buku 'How Democracies Die' tidak relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Menurut Andreas, upaya pelemahan RI justru dilakukan dengan memanfaatkan politik identitas.

"Kalau Anies mau menggunakan bacaan buku itu untuk mengkritisi situasi ini, saya justru lihat tidak ada relevansinya buku yang sedang dibaca Anies dengan situasi yang sedang dihadapi Indonesia saat ini," ujar Andreas saat dihubungi, Minggu (22/11).

"Konteks Indonesia, justru adalah upaya pelemahan negara oleh kekuatan otoritarian theokrasi yang anti demokrasi, yang memanfaatkan politik identitas untuk memprovokasi masyarakat melawan pemerintah yang terpilih secara demokratis," imbuhnya.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.

Sebelumnya, Anies mengunggah foto dia memakai baju koko berwarna putih dan sarung berwarna cokelat. Anies membaca buku berjudul 'How Democracies Die' sambil duduk menyilangkan kaki. Ia duduk di depan rak buku yang menjadi latar belakangnya.

Buku 'How Democracies Die' merupakan karya penulis profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Buku tersebut membahas beberapa pemimpin di dunia yang terpilih melalui Pilpres tetapi lekat dengan label 'diktator'.

Dalam bukunya, mereka mencatat bahwa kemunculan beberapa pemimpin diktator justru merupakan hasil dari pemilu. Demokrasi mati bukan karena pemimpin diktator yang memperoleh kekuasaan lewat kudeta, melainkan justru yang menang melalui proses pemilu.

Setidaknya hal ini mereka catat saat Donald Trump, yang diusung oleh Partai Republik, menang pada Pilpres Amerika Serikat tahun 2016. Trump unggul atas kandidat Partai Demokrat, Hillary Clinton. Padahal banyak lembaga survei lokal yang memprediksi kekalahan Trump. Trump diduga kuat menang karena berhasil memainkan isu rasisme kulit hitam dan menebarkan ketakutan melalui hoax.

Begitu terpilih, Trump langsung mengeluarkan pernyataan kontroversial yang semakin memunculkan kesan dia sebagai diktator. Beberapa di antaranya pernyataan perang yang diumumkan lewat akun Twitter pribadinya, rencananya membangun tembok perbatasan Meksiko-Amerika Serikat; kebijakan luar negeri Korea Utara dan Afghanistan yang memicu perang; reformasi pajak; sikapnya arogan pada media yang mengkritiknya, ketidakpercayaannya pada fenomena perubahan iklim; hingga yang paling kontroversial soal pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Pada buku 'How Democracies Die', selain di Amerika Serikat, Brasil, Filipina, dan Venezuela, fenomena 'soal pemimpin yang menang pemilu namun terkesan diktator' ini terjadi di beberapa negara lain, misalnya Peru, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Turki, dan Ukraina.

Halaman 2 dari 3
(rfs/zak)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads