Kritik Hutan Lindung Jadi Food Estate, Komisi IV Bicara Kerusakan Lingkungan

ADVERTISEMENT

Kritik Hutan Lindung Jadi Food Estate, Komisi IV Bicara Kerusakan Lingkungan

Nur Azizah Rizki Astuti - detikNews
Selasa, 17 Nov 2020 05:57 WIB
Gerakan anak muda Biodiversity Warriors KEHATI dan  masyarakat pemerhati burung melakukan perhitungan jumlah dan jenis burung air di Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta pada Sabtu (19/1).  Pendataan ini dilakukan secara berkala untuk memantau keseimbangan ekosistem lahan basah.
Ilustrasi hutan lindung (Foto: Moh. Fariansyah)
Jakarta -

Komisi IV DPR mengkritik kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang memperbolehkan kawasan hutan lindung menjadi lahan food estate. Keluarnya Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 24 Tahun 2020 dinilai menjadi kabar buruk bagi pengelolaan hutan.

"Keluarnya Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate, menjadi menjadi berita yang kurang baik dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Pada Pasal 4 PP Nomor 24 Tahun 2010 dinyatakan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang punya tujuan strategis dan tak dapat dielakkan," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan kepada wartawan, Senin (16/11/2020).

"Kata 'dielakkan' di sini menegaskan hanya dalam keadaan mendesak. Nah pertanyaannya, apakah ini sangat mendesak dan tidak bisa dielakkan?" lanjutnya.

Dalam Permen LHK juga disebutkan kawasan hutan lindung bisa diubah menjadi lahan food estate asalkan sudah tidak berfungsi sepenuhnya sebagai hutan lindung. Menurut Daniel, hingga kini tidak ada data yang menyebutkan hutan lindung mana saja yang sudah tidak berfungsi sepenuhnya.

"Sejauh ini tidak ada data yang jelas terkait hutan lindung yang sudah tidak produktif atau tidak lagi sesuai dengan fungsinya, ada berapa luas, di mana tempatnya? Tidak jelas. Ketidakjelasan data ini bisa menjadi masalah ke depannya," ujarnya.

Selain itu, Daniel menyoroti kurangnya pengawasan di lapangan terhadap implementasi peraturan ini. Politikus PKB itu juga bicara soal ancaman kerusakan lingkungan jika hutan lindung berubah fungsi.

"Kekhawatiran terbesar adalah orang akan berbondong-bondong merambah hutan lindung untuk ditebang dan dikonversi dan kemudian dilegalkan dengan Permen ini. Bagaimana pengawasan di lapangannya? Belum lagi kita berbicara mengenai dampak kerusakan lingkungan, seperti bencana tanah longsor dan kekeringan. Ini harusnya juga menjadi pertimbangan dalam menetapkan kebijakan," tutur Daniel.

Kajian KLHK soal kebijakan ini pun dipertanyakan. Simak di halaman selanjutnya. >>>



ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT