Umur Pendek Buaya Kembaran Manusia yang Cuma Mitos Belaka

Round-Up

Umur Pendek Buaya Kembaran Manusia yang Cuma Mitos Belaka

Tim detikcom - detikNews
Jumat, 13 Nov 2020 21:31 WIB
Buaya diyakni warga di Makassar sebagai keturunan manusia
Buaya di Sungai Tallo, Makassar, yang diyakini keturunan manusia. (Hermawan/detikcom)
Makassar -

Buaya muara yang sempat membuat gempar lantaran diyakini warga sebagai kembaran manusia di Kota Makassar saat ini sudah mati. Buaya yang diyakini hanya mitos itu mati tak lama setelah disambut warga.

Buaya muara tersebut pertama kali muncul di Sungai Tallo, Makassar, pada Selasa (10/11) lalu dan viral di media sosial. Oleh salah seorang warga, Muliadi, buaya itu kemudian diamankan ke rumahnya di di Jalan Pacinan, Kelurahan Tello Baru, Panakkukang, Kota Makassar.

Muliadi pun yakin buaya itu merupakan kerabatnya sehingga diperlakukan dengan hormat di ruang tamu rumahnya. Belakangan, buaya tersebut ternyata sudah mati tak lama setelah upacara penyambutan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kemarin sempat ada acara penyambutan dengan (musik) gandrang bulo, tidak lama kemudian mati itu buaya," ujar Bhabinkamtibmas Tello Baru Bripka Muhammad Kazim kepada detikcom, Jumat (13/11/2020).

Sebelum mati, buaya itu sempat dievakuasi ke rumah warga bernama Muliadi di Jl Pacinan Raya, Panakkukang, Makassar, Rabu (11/11). Warga di rumah Muliadi sempat melakukan upacara penyambutan dengan menabuh Gandrang Bulo.

ADVERTISEMENT

Lantaran sudah dalam kondisi mati, buaya itu sempat dibawa warga ke bantaran Sungai Tallo pada Kamis (12/11) sekitar pukul 14.00 Wita, untuk dilarung ke sungai. Namun upaya pelarungan itu gagal karena warga akhirnya menguburkan buaya tersebut.

"Awalnya mau dikasi turun di sungai tapi permintaan warga di bantaran sungai mending dikuburkan karena sudah bentuk bangkai, dan warga akhirnya sepakat. Seandainya masih hidup mungkin dilepas (ke sungai)," kata Kazim.

Ketika dibawa di bantaran Sungai Tallo, warga sempat menabuh gandrang bulo sebagai upacara pemakaman. Buaya itu selanjutnya dikuburkan.

"(Dikuburkan) di pinggiran sungai, kan di situ di bantaran sungai ada beberapa kepala keluarga yang tinggal yang profesinya itu nelayan dan cari ballo, tuak," tuturnya.

Buaya muara merupakan kembaran manusia ternyata hanya mitos. Simak selengkapnya >>>

Sementara itu, guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Nurhayati Rahman, buka suara terkait mitos buaya muara tersebut. Menurutnya kepercayaan terhadap mitos tersebut seperti yang dilakukan Muliadi memang masih eksis di sebagian masyarakat Bugis-Makassar. Masuknya agama Islam ke Sulawesi Selatan membuat cara beragama masyarakat Bugis-Makassar terbagi menjadi tiga bagian.

"Cara beragama orang Bugis-Makassar itu ada yang militan, ada yang mengasimilasikan, dan ada yang mendua," kata Nurhayati dalam perbincangan dengan detikcom.

Lebih lanjut Nurhayati mengungkap kepercayaan warga di sekitar Sungai Tallo, Makassar, yang meyakini buaya tersebut sebagai saudaranya dan keturunan dari orang tua, yang menunjukkan cara beragama yang mendua setelah masuknya agama Islam di tanah Bugis-Makassar.

"Yang mendua ini yang banyak, terutama di desa-desa. Seperti itu mi wujudnya, dianggap bahwa (buaya tersebut sebagai) saudaranya itu yang datang," tutur Nurhayati.

Mitos itu bahkan tertuang dalam kitab Bugis kuno Lagaligo. Masyarakat Bugis-Makassar sebelum datangnya Islam yakin akan perlunya menjaga keseimbangan dengan alam, termasuk yang berada di dalam air.

"Dia orang Bugis-Makassar melihat bahwa segala sesuatu dari bawah laut itu bagian dari dirinya, begitu juga dari langit. Kilat dan sebagainya itu merupakan bagian dari dirinya. Karena zaman dulu kan manusia dengan alam ini masih menjadi satu kesatuan, tidak ada yang saling merusak," jelasnya.

"Baru sekarang banyak yang merusak keseimbangan hidup manusia. Kalau mereka dulu memang menjaga hubungan keseimbangan, itu kepercayaan. Jadi mereka percaya setiap manusia itu lahir di dunia ini ada kembarannya. Ada yang kembaran air, ada yang kembaran ular, tapi pada umumnya mereka menganggap kembarannya adalah buaya," lanjutnya.

Kepercayaan itu kemudian mulai luntur seiring dengan masuknya Islam, yang membawa ajarannya melalui tradisi-tradisi masyarakat. Perlahan tradisi dari kepercayaan itu diubah oleh ulama, contohnya tradisi membawa sesajen atau persembahan kepada dewa-dewi bawah laut. Para ulama dulu menggantinya dengan upacara maulid, dengan cara melakukan lomba perahu dan memberi sedekah kepada orang miskin, serta menghiasi perahunya dengan banyak sekali telur-telur atau makanan yang kemudian dibagikan kepada orang miskin.

Halaman 2 dari 2
(maa/maa)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads