Selepas Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1954, Indonesia berkomitmen melaksanakan politik luar negeri yang anti kolonialisme dan anti imperialisme. Ini dilatarbelakangi trauma bangsa Indonesia akibat penjajahan Belanda selama 300 tahun.
Pengalaman itu menjadi landasan politik luar negeri Indoensia yang ingin menentang aneka bentuk penjajahan. Hal itu dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea I dan IV:
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di satu sisi, pertarungan ideologi antara AS dan Uni Soviet sejak berakhirnya Perang Dunia II menyeret negara-negara Dunia Ketiga. Ini berdampak berlangsungnya konflik di berbagai kawasan di dunia.
Tekanan konflik ideologi yang semakin kuat memengaruhi sikap Indonesia dalam politik internasional. Karena itu, Perdana Menteri Indonesia saat itu, Mohammad Hatta menegaskan bahwa haluan politik luar negeri Indonesia menganut prinsip bebas dan aktif yang tidak memihak kepada siapa dan ke mana pun.
Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif seperti dikutip dari buku 'Indonesia & Asean: Politik Luar Negeri Pasca Reformasi' oleh Darwis, pertama kali disampaikan oleh Hatta dalam pernyataannya yang bertajuk "Mendayung Antara Dua Karang" di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia pusat di Jakarta pada 2 September 1948.
Kata bebas artinya Indonesia tidak terlibat dalam blok negara-negara adidaya, terutama AS dan Uni Soviet, yang mendominasi politik internasional ketiak perang dingin berlangsung. Sedang aktif berarti aktif menentang apa pun bentuk pejajahan dan turut serta dalam menciptakan perdamaian dunia.
Hatta secara tegas menyatakan tujuan politik luar negeri Indonesia bebas aktif yakni Indonesia tidak termasuk ke dalam blok negara besar serta perjanjian keamanan mana pun. Indonesia juga akan ikut secara aktif dalam menyelesaikan masalah-masalah politik internasional yang berpotensi mengancam keamanan dan kedaulatan bangsa.
Sementara itu, prioritas politik luar negeri Indonesia pada 2019-2024: seperti disampaikan Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi pada 8 Januari 2020 seperti dilansir situs Kemlu:
Prioritas politik luar negeri Indonesia akan bertumpu pada prioritas
4+1:
1. Prioritas pertama, yaitu penguatan diplomasi ekonomi.
Beberapa langkah strategis dalam prioritas pertama ini antara lain:
a. Kapitalisasi penguatan pasar domestik.
b. penguatan pasar tradisional dan terobosan pasar non-tradisional.
c. penguatan perundingan perdagangan dan investasi
terpadu perdagangan dan investasi serta
mendorong outbound investment.
d. Diplomasi juga akan dioptimalkan untuk menjaga
kepentingan strategis ekonomi Indonesia.
2. Prioritas kedua yakni diplomasi perlindungan.
3. Prioritas ketiga, diplomasi kedaulatan dan kebangsaan
4. Prioritas keempat, yaitu meningkatkan kontribusi dan
kepemimpinan indonesia di kawasan dan dunia.
Prioritas di atas tidak akan dapat dicapai jika tidak memiliki infrastruktur diplomasi yang kuat. Untuk itu, Kementerian Luar Negeri akan terus memperkuat
infrastruktur diplomasi, serta mendidik para diplomat menjadi diplomat handal dan berkualitas.
Beberapa hal yang akan menjadi fokus infrastruktur dan mesin diplomasi adalah Reformasi Birokrasi, Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia, Pembangunan Infrastruktur Fisik Diplomasi, Penguatan Pemanfaatan Teknologi dan Informatika, dan Transformasi Digital.
Tanpa transformasi digital, diplomasi Indonesia akan tertinggal oleh kemajuan era digital dewasa ini.
Itulah politik luar negeri Indonesia dulu dan kini. Semoga pengetahuan kita menjadi bertambah akan hal ini.