Jakarta -
UU Cipta Kerja, yang sudah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi), diwarnai sejumlah salah ketik. Menurut Gerindra, kesalahan pada teknis pengetikan atau typo masih bisa diperbaiki meski undang-undang sudah ditandatangani Presiden.
"Kalau salah ketik, tinggal diperbaiki dan cek di Baleg yang kemarin disepakati seperti apa," ujar Waketum Gerindra Habiburokhman kepada wartawan, Selasa (3/11/2020).
Menurut anggota Komisi III DPR yang membidangi hukum ini, kesalahan pengetikan merupakan hal yang bisa. Habiburokhman menegaskan substansi yang dijadikan rujukan soal UU No 11 Tahun 2020 itu adalah kesepakatan tingkat I antara DPR dan pemerintah, yakni di Badan Legislasi, sebelum omnibus law itu disahkan di sidang paripurna DPR pada 5 Oktober lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang namanya dokumen tulisan ya bisa saja salah ketik seperti halnya penerbitan buku, perjanjian, naskah pidato, dan lain-lain," tuturnya.
"Tapi kalau soal UU rujukan yang paling pas adalah dokumentasi persidangan di Baleg," imbuh Habiburokhman.
Kesalahan ketik pada UU Cipta Kerja terdapat di halaman 6 UU Cipta Kerja. Di halaman itu tertulis Pasal 6 berbunyi:
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha; c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi.
Padahal dalam UU Cipta Kerja, Pasal 5 ayat 1 huruf a tidak ada. Sebab, Pasal 5 adalah pasal berdiri sendiri tanpa ayat. Pasal 5 berbunyi:
Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.
Selanjutnya >>>
Selain itu, kesalahan fatal lainnya pada UU Cipta Kerja ada di halaman 757, yakni pada Pasal 53, yaitu:
(3) Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
(4) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.
Ayat (5) di atas seharusnya berbunyi:
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden.
"Dalam hukum itu kan ada asas substance over form, kita pastikan jangan ada substansi yang berubah," sebut Habiburokhman.
Disinggung soal aturan yang menyebut undang-undang tak bisa diubah apabila sudah diteken presiden, ia menyebut hal tersebut berlaku untuk substansi. Bila hanya salah ketik, kata Habiburokhman, masih bisa dilakukan perbaikan.
"Yang substansi iya nggak bisa, tapi kalau typo kan bukan produk kesepakatan DPR-pemerintah," ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan kesalahan pada UU Cipta Kerja tak lagi bisa diperbaiki. Ia menyebut UU tidak bisa diimajinasikan 'tahu sama tahu' ketika waktu dilaksanakan, melainkan harus sesuai dengan apa yang tertulis di UU.
"Tidak bisa lagi dilakukan perbaikan secara sembarangan seperti yang terjadi sebelum UU ini ditandatangani (yang itu pun sudah salah)," ujar Bivitri saat berbincang dengan detikcom, Selasa (3/11).
Apa dampak hukumnya? Pasal-pasal yang sudah diketahui salah tidak bisa dilaksanakan. Karena, dalam hukum, tidak boleh suatu pasal dijalankan sesuai dengan imajinasi penerap pasal saja, harus persis seperti yang tertulis.
"Dampak lainnya, meski tidak 'otomatis', ini akan memperkuat alasan untuk melakukan uji formal ke MK untuk meminta UU ini dibatalkan," papar Bivitri,
Apa yang bisa dilakukan? Kalau pemerintah mau membuat ada kepastian hukum agar pasal-pasal itu bisa dilaksanakan, bisa keluarkan perppu, karena UU ini tidak bisa diubah begitu saja.
"Kalau cuma perjanjian, bisa direnvoi, dengan membubuhkan tanda tangan semua pihak di samping. Kalau di UU tidak bisa, tidak diperbolehkan menurut UU 12/2011 dan secara praktik tidak mungkin ada pembubuhan semua anggota DPR dan presiden di samping," cetus Bivitri.
"Yang jelas semakin tampak ke publik, bagaimana buruknya proses ugal-ugalan seperti ini. Seakan-akan mengerdilkan makna pembuatan UU, padahal UU itu seperti kontrak sosial warga melalui wakil-wakilnya (dan itu pun sudah disimpangi dengan tidak partisipatif dan tidak transparannya proses penyusunan dan pembahasan). Ini akibatnya kalau tujuan buruk menghalalkan segala cara," sambung pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini