UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) digugat. Hal itu terkait pasal peralihan yang menyebutkan hakim konstitusi aktif saat ini bisa diperpanjang hingga 15 tahun.
Gugatan itu kali ini diajukan oleh advokat Priyanto. Dia menggugat Pasal 87 UU MK, yang berbunyi:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku
a. Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini;
b. Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang- Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menyatakan Pasal 87 huruf a bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir apabila Ketua dan Wakil Ketua MK telah diangkat berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat 3 UU ini," ujar Priyanto dalam berkas gugatan yang dilansir website MK, Senin (2/11/2020).
Adapun Pasal 87 huruf B, Priyanto meminta menjadi berbunyi:
Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang- Undang ini diundangkan meneruskan jabatannya apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 15 Undang-Undang ini dan mengakhiri tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun.
Ini bukan kali pertama UU MK digugat. Apa isi gugatan sebelumnya? Simak di halaman selanjutnya.
Sebelumnya, dosen FH UII Yogyakarta, Allan Fatchan, menggugat UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK ke MK. Allan meminta batas minimal hakim konstitusi diturunkan dari minimal 55 tahun menjadi 47 tahun.
"Menyatakan Pasal I angka 6 yang menghapus Pasal 22 UU MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat apabila tidak dimaknai 'masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya'," demikian bunyi petitum Allan dalam berkas permohonannya.
Allan menilai UU MK yang baru itu berpotensi mengakibatkan hakim konstitusi tersebut terjebak dalam konflik kepentingan (conflict of interest) dengan pembentuk UU. Sementara produk dari pembentuk undang-undang merupakan objek in litis dalam pengujian undang-undang di MK.
"Dengan adanya konflik kepentingan (conflict of interest) dengan pembentuk undang-undang berpotensi mengganggu independensi dan impartialitas hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU MK diundangkan dalam melakukan pengujian undang-undang sehingga bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan 'kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan'," paparnya.