Residivis yang kembali berulah melakukan tindak kejahatan menjadi marak. Kriminolog dari FISIP Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, menjelaskan salah satu penyebab pengulangan kejahatan adalah ketidaksesuaian program pembinaan.
"Salah satu yang dapat menyebabkan pengulangan kejahatan adalah adanya ketidaksesuaian antara program pembinaan dan hasil asesmen mengenai apa yang menyebabkan dirinya melakukan kejahatan. Kadang, di dalam Lapas, pembinaan bersifat sangat general," kata Iqrak kepada wartawan, Jumat (23/10/2020).
Menurutnya, tidak semua narapidana membutuhkan pembinaan yang berkaitan dengan kemandirian (vokasi) terkait bekal kemampuan bertahan secara ekonomis. Namun juga ada narapidana yang butuh pembimbingan psikologis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Adakalanya yang dibutuhkan adalah konseling psikologis, berkaitan dengan kemampuan mengendalikan emosi," tutur Iqrak.
"Ketidaksesuaian inilah yang menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi residivisme," lanjutnya.
Selain itu, faktor hubungan sosial dianggap dapat mempengaruhi tindakan residivis setelah keluar dari penjara.
"Banyak di antara narapidana yang mengulangi kejahatan karena tidak adanya dukungan sosial dan keluarga. Dalam konteks kejahatan kekerasan, dukungan keluarga misalnya dapat menjadi variabel yang menciptakan kelekatan (attachment) yang sekaligus akan menjadi variabel kontrol yang mencegah pengulangan kejahatan," lanjutnya.
Diketahui, dua kasus besar menjadi sorotan. Pertama, residivis kasus pembunuhan berinisial S (46) membunuh bocah berusia 9 tahun R di Aceh Timur, Aceh, gegara membela ibunya DA (28) yang hendak diperkosa.
Kasus kedua, residivis kasus pembunuhan bernama Daeng Lewa di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), ditembak polisi usai menebas istri dan mertuanya sendiri hingga bersimbah darah.
(isa/imk)