Pengacara mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Maqdir Ismail, menilai dakwaan jaksa KPK yang mendakwa Nurhadi menerima suap dan gratifikasi Rp 83 miliar dipaksakan. Maqdir mengungkapkan kejanggalan yang ada di surat dakwaan jaksa.
"Terkait dengan dugaan suap sebesar Rp 45.726.955.000,00 dari Hendra Soenjoto selaku Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal, suap terhadap Pak Nurhadi terkait pengurusan perkara PK, menurut hemat saya sesuatu yang tidak mungkin dan tidak benar," ujar Maqdir, kepada wartawan, Kamis (22/10/2020).
Maqdir mengungkap sejumlah kejanggalan. Dia mengatakan ketidakbenaran pertama dari sisi angka suap yang dinilai tidak mungkin. Penggunaan uang dalam bentuk pecahan seperti yang didakwakan disebut tidak masuk di akal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak mungkin akan ada hitungan seperti ini," tegas Maqdir.
"Ketidakbenaran kedua, sumber yang memberi keterangan tentang adanya uang suap ini hanya bersumber dari saksi Iwan Cendekia Liman, karena katanya berdasarkan pembicaraan dia dengan Rezky Herbiyono," imbuhnya.
Maqdir membenarkan memang ada transaksi pinjam antara Rezky dengan Iwan. Namun, itu tanpa sepengetahuan Nurhadi.
"Ketidakbenaran ketiga, Hiendra Soenjoto sebagai seorang didakwa pemberi suap belum pernah diperiksa oleh penyidik," tutur Maqdir.
Ketidakbenaran keempat, Nurhadi bukan orang yang berwenang memutus perkara karena dia bukan hakim dan bukan juga panitera perkara yang mengurus perkara.
Lebih lanjut, dia juga mengatakan penerimaan uang yang disebut sebagai suap itu tidak pernah dilakukan oleh Nurhadi.
"Dengan demikian, maka cerita suap menyuap ini hanya asumsi dan pendapat yang tidak mengandung kebenaran dan tidak berdasarkan bukti," tutur Maqdir.
Maqdir juga mengatakan penerimaan uang oleh Rezky dari Hiendra terkait dengan kerja sama proyek minihidro itu dibatalkan karena dianggap tidak feasible. Selain itu, kata dia, penerimaan uang oleh Rezky dari Hiendra terjadi setelah PK perkara Hiendra diputus dan dikalahkan oleh Mahkamah Agung.
"Jadi nggak masuk di akal kalau dikatakan Hiendra nyuap untuk perkara yang sudah diputus kalah. Yang lebih aneh lagi adalah mengenai dakwaan kedua, Nurhadi diduga menerima gratifikasi dari beberapa orang, sebesar Rp 37.287.000.000,00."
Maqdir menyebut uang itu bukanlah terkait pengurusan perkara melainkan transaksi jual-beli mobil, membeli emas batangan, dan juga ada yang membayar utang.
"Dari apa yang dikemukakan di atas, jelas bahwa dakwaan terhadap Pak Nurhadi ini telah disusun tidak berdasarkan fakta berdasarkan keterangan saksi. Dakwaan ini terlalu dipaksakan," pungkas Maqdir.
Diketahui, Nurhadi dan Rezky didakwa menerima suap dan gratifikasi Rp 83 miliar terkait pengurusan perkara di pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali. Nurhadi dan Rezky didakwa menerima suap dan gratifikasi dalam kurun 2014-2016.
Dengan rincian, menerima suap sebesar Rp 45.726.955.000 dan menerima gratifikasi sebesar Rp 37.287.000.000. Jika ditotal penerimaan suap dan gratifikasi, keduanya menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 83.013.955.000 (Rp 83 miliar).
Nurhadi dan Rezky disebut melanggar Pasal 12 huruf a dan 12B atau Pasal 11 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 dan 65 ayat 1 KUHP.