Paslon Langgar Protokol Kesehatan, Bagaimana Penegakan Hukumnya?

Paslon Langgar Protokol Kesehatan, Bagaimana Penegakan Hukumnya?

Angga Laraspati - detikNews
Selasa, 13 Okt 2020 16:53 WIB
Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin, Blak-blakan detik.com, Jumat, 12 April 2019.
Foto: Grandyos Zafna/detik.com
Jakarta -

Sejumlah pelanggaran protokol kesehatan para pasangan calon (paslon) Pilkada 2020 masih mewarnai tahapan kampanye hingga hari kesepuluh, Sabtu (10/10). Dalam catatan Bawaslu RI, ada 9.189 kejadian, 256 pelanggaran, dan 70 di antaranya sudah diberikan peringatan langsung.

Menanggapi hal tersebut, Divisi Pengawasan dan Sosialisasi Bawaslu RI, Mochammad Afifuddin mengatakan pada PKPU Nomor 13 Tahun 2020 Pasal 88C, surat peringatan atau surat tilang akan diberikan jika terdapat pelanggaran protokol. Bawaslu menyarankan jika terjadi hal tersebut, maka dapat dihentikan, dikurangi sampai batasan dan kalau tetap diselenggarakan, maka dapat dibubarkan.

"Jika melanggar aturan lainnya, Bawaslu akan merekomendasikan ke lembaga yang diberikan kewenangan. Semisal ada tuntutan pidana, maka dalam hal ni adalah kepolisian. Sebagaimana diketahui sudah ada Pokja yang dibentuk Bawaslu dimana terdapat pihak kepolisian," ujar Afifuddin dalam keterangan tertulis, Selasa (13/10/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih lanjut, Afifudin menuturkan Bawaslu menyarankan para paslon untuk melaksanakan kampanye secara daring, ketimbang tatap muka. Pasalnya, banyak terdapat pelanggaran protokol di daerah-daerah Pilkada 2020 yang berujung pembubaran, peringatan dan lainnya.

"Bawaslu menganggap, mengubah kebiasaan memang agak sulit. Kalau tidak dipatuhi, maka ancaman kesehatannya untuk peserta dan penyelenggara bisa berbahaya," tutur Afifuddin.

ADVERTISEMENT

Di sisi lain, Pemerhati Hukum dari Universitas Bung Karno, Ibnu Zubair menilai pelanggaran dalam pemilu, seharusnya hanya dilabeli sebagai pelanggaran administrasi, kecuali yang berhubungan dengan kecurangan, mulai dari manipulasi jumlah pemilih dan hasil pemilu, pemalsuan identitas, pencurian waktu kampanye sampai pada politik uang, hal-hal yang memang sudah ada dalam undang-undang pidana.

"Pelanggaran administrasi tidak boleh menganulir substansi demokrasi, yaitu adanya pergantian kepemimpinan melalui proses yang wajar dan diterima semua pihak. Pelanggaran administrasi tetap diberi hukuman sesuai dengan kadar dan ketentuannya, tidak boleh melebihi dari seharusnya," ujar Zubair

Ia mengatakan jangan karena pelanggaran administrasi dapat menggagalkan kemenangan pasangan calon tertentu, membuat jadwal pemilihan dibuat mengambang yang justru dapat menimbulkan kebimbangan dan keresahan.

"Bukankah, dalam proses pemilihan umum semua pasangan calon diberi waktu dan kesempatan yang sama," tambahnya.

Menurut Zubair kecuali ada yang diberikan porsi berbeda yang saat ini mustahil untuk terjadi karena saluran informasi terbuka dan dapat diakses oleh semua pihak tanpa terkecuali. Karena sejauh yang termuat dalam beragam PKPU, KPU sudah melaksanakan kewajibannya yaitu membuat aturan pencegahan COVID-19.

Menurutnya, KPU tidak boleh menindak kegiatan yang bukan menjadi kewenangannya. KPU hanya perlu mengingatkan dan mencegah, serta memberi sanksi sewajarnya bagi pelanggar protokol kesehatan.

"KPU hanya perlu tegas dan keras dalam urusan tata tertib Pemilihan Umum, selebihnya cukup membuat aturan pencegahan," imbuhnya.

Jika tetap terjadi pelanggaran, sambung Zubair, maka mekanisme hukum melalui aturan yang ada sudah cukup jelas mengaturnya. Demikian pula dengan PKPU Nomor 13 Tahun 2020, khususnya Pasal 88, kerja penindakan KPU sudah cukup di bagian itu. Justru menurutnya, jika KPU lebih tegas, hal tersebut akan melampaui kewenangannya.

Dirinya memberikan contoh UU wabah penyakit menular, UU karantina kesehatan atau KUHPidana yang tidak menggantungkan diri pada situasi pemilu atau tidak. Artinya UU tersebut dapat ditegakkan, ada atau tidak adanya pemilihan umum.

"Apalagi Presiden sudah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional, yang sudah cukup sebagai pedoman dalam penegakan hukum terkait dengan penanganan -19, termasuk pada masa Pemilihan Umum," jelasnya.

Menurut Zubair, KPU cukup menyelaraskan peraturannya dan menguatkan kembali bahwa Pilkada yang dilakukan berlangsung dalam situasi pandemi COVID-19.

"Sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bencana nasional," pungkasnya.

(akn/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads