Hingga kini, puncak wabah Corona (COVID-19) di Indonesia masih belum bisa disimpulkan. Sebelumnya, pada zaman kolonial, Pulau Jawa pernah dilanda wabah sampar. Jawa Barat termasuk wilayah yang sangat terdampak ketika wabah mencapai fase puncak.
Sebagaimana dicatat Atep Kurnia dalam buku 'Jaman Woneng: Wabah Sampar di Priangan, 1925-1937' Pulau Jawa pernah dilanda wabah Sampar pada 1911-1939. Puncak wabah ini mulai tampak antara tahun 1933 hingga 1935.
Daerah yang turut dilanda ialah Jawa Barat, khususnya daerah Priangan yang meliputi Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung dan Sumedang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atep memaparkan bahwa sejak 1933, wabah penyakit yang dibawa oleh tikus ini meluas sejak pada tahun 1933. Jumlah korban sampar di Jawa Barat 16.881 orang, yang lebih besar dibandingkan dengan Jawa Timur pada 1914 dengan 15.756 korban. Sedangkan puncak sampar di Jawa Tengah pada 1925 mencapai 14.884 kematian.
Angka korban yang tinggi ini disebabkan oleh penyebaran wabah selama 1932 dan 1933. Ditambah lagi, iklim pegunungan mempercepat penyebaran bibit penyakit sampar ini. Maka pusat wabah pun bergeser dari Jawa Tengah ke Jawa Barat, setelah sebelumnya dari Jawa Timur ke Jawa Tengah.
Pada 1932, korban sampar di Jawa Barat pun meningkat hingga tiga kali lipat. Untuk menanganinya, pemerintah kolonial menggencarkan metode 'suntik mayat' (the speen puncture) untuk memastikan adanya sampar, utamanya di Garut.
Namun, metode pemerintah kolonial ini mendapat penolakan dari masyarakat karena bertentangan dengan agama. Masyarakat pun lebih memilih menguburkan korban sampar secara sembunyi-sembunyi. Selain dengan suntik mayat, pemerintah kolonial juga melakukan perbaikan rumah, semata-mata untuk menutupi celah yang bisa menjadi sarang tikus--pembawa penyakit mematikan ini.
Selanjutnya, pada tahun 1934, korban sampar di Jawa Barat meningkat menjadi 20.522 orang.
Selain suntik mayat dan perbaikan rumah, penanganan wabah melalui vaksin juga dilakukan. Yakni melalui vaksin yang dikembangkan oleh Dokter Instituut Pasteur di Bandung, Dokter Otten. Hasil uji coba vaksin antisampar ini memuaskan, tingkat kekebalannya 90%.
Alhasil, perlahan-lahan angka korban sampar di Jawa Barat mengalami penurunan pada tahun 1935. Atep Kurnia mencatat, keberhasilan ini tak terlepas dari kerjasama pemerintah dan masyarakat.
"Kunci keberhasilan penurunan tersebut terletak pada kerja cerdas dan keras pemerintah berikut dinas-dinas terkait, dukungan dan kerja sama masyarakat serta ihwal lainnya berkaitan dengan dengan kerja ilmiah dan pendekatan budaya," tulisnya.