"Pertama korupsi politik itu terjadi secara sistemik, terstruktur, dan masif. Saya ambil data dari 2004-2019 berarti 2 periode Pak SBY dan 1 periode Pak Jokowi. Pelaku korupsi ini se-Indonesia, paling tinggi Jakarta, pemerintah pusat karena episentrum kebijakan publik yang koruptif di sini di pemerintah pusat," kata Busyro dalam diskusi virtual yang ditayangkan di YouTube Rumah Pemilu, Selasa (30/9/2020).
Busyro mengatakan, berdasarkan data KPK pada 2004-2019, korupsi paling banyak terjadi di Jakarta, yaitu di jajaran pemerintah pusat sebanyak 305. Sementara yang kedua paling banyak terjadi di Jawa sebanyak 292 karena akumulasi dari beberapa daerah, Busyro mengatakan banyaknya kasus korupsi karena proses pilkada ditandai dengan praktik politik uang atau transaksional yang disebut dibiayai cukong atau sponsor.
"Ini akibat apa akibat yang mutatis mutandis begitu karena proses pilkada dan pemilu yang lalu karena proses pilkada dan pemilu yang lalu selalu ditandai dengan cukongisasi karena ada cukongisme pemahaman mengenai pentingnya cukong-cukong itu sehingga pilkada dan pemilu yang lalu itu bisa kami artikan itu sesungguhnya demokrasinya para cukong itu," katanya.
"Hasilnya para cukong itu tentu tidak akan rela untuk tidak menderai pejabat pusat sampai dengan daerah agar APBD, agar perizinan, kebijakan nasional, kebijakan daerah itu didesain dalam kerangka kebutuhan bisnis mereka, bisnis yang gelap. Nah terjadilah ini," ungkapnya.
Lebih lanjut, Busyro mengatakan, data tersebut adalah data KPK pada masa lalu terkait penanganan kasus korupsi. Ia lalu membandingkan KPK saat ini yang dinilai sudah tak bergigi seperti KPK masa lalu.
"Ini data KPK masa lalu bukan masa yang sekarang dimana KPK sudah berhasil di mutilasi secara tuntas oleh pemerintah," ungkapnya.
Busyro menambahkan, praktik demokrasi transaksional berdampak pada pelemahan secara sistemik lembaga penegak hukum seperti KPK. Selain itu yang terbaru ada revisi UU MK yang disahkan dalam waktu singkat, ia lalu mempertanyakan agenda dibalik UU MK revisi tersebut.
Busyro mengatakan praktik demokrasi transaksional itu juga terjadi berupa korupsi legislasi. Selain itu, dia mengatakan melemahnya KPK berpotensi macetnya pengusutan kasus megaskandal korupsi, seperti kasus BLBI, Bank Century, reklamasi teluk Jakarta, PLN, megaproyek Meikarta, kasus 'papa minta saham', dan Djoko Tjandra.
Selain itu, Busyro meminta agar pemerintah meninjau ulang pelaksanaan Pilkada 2020 yang digelar di masa pandemi COVID-19. Hal itu mempertimbangkan kesehatan masyarakat, karena angka kasus positif terus meningkat.
"Terakhir, mohon perlu dipertimbangkan selain mempertimbangkan penanganan-penanganan selain dari kami, yaitu rekomendasi yang pertama peninjauan kembali keputusan pelaksanaan Pilkada 2020," ujarnya.
Kedua, PP Muhammadiyah meminta pemerintah mempertimbangkan tekanan publik terkait penundaan pilkada sembari memprioritaskan penanganan COVID-19. Ia meminta UU Pilkada dan UU Pemilu direvisi agar tidak terjadi demokrasi transaksional.
"Justru UU Pilkada dan sekaligus UU Pemilu itu perlu direvisi secara demokratis, karena itu, maaf, merupakan biang kerok timbulnya persoalan-persoalan demokrasi yang transaksional," ujarnya.
Selain itu, ia merekomendasikan agar adanya pendidikan politik bagi masyarakat sembari menunda pilkada. (yld/fjp)