Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mendukung Pilkada Serentak 2020 tidak ditunda meski pandemi virus Corona (COVID-19) masih ada. LSI Denny JA pun memberikan saran atau usulan berdasarkan hasil riset terbaru mereka.
Dari hasil penelitian LSI Denny JA, ada tujuh alasan yang disebut menjadi dasar agar Pilkada 2020 tidak ditunda. Menurut LSI Denny JA, Pilkada 2020 hanya perlu disesuaikan agar tidak terjadi tempat penularan virus Corona.
"Pilkada 2020 bisa dilakukan, tidak perlu ditunda, tapi hanya perlu dimodifikasi," ujar peneliti LSI Denny JA, Ikrama Masloman, dalam konferensi pers daring, Kamis (24/9/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Riset yang dilakukan LSI Denny JA merupakan riset kualitatif dengan kajian data sekunder dari Gugus Tugas Nasional COVID-19, Worldometer, dan WHO. Riset diperkuat dengan analisis media.
Alasan pertama pilkada tidak ditunda adalah soal legitimasi. Sebab, jika Pilkada 2020 ditunda, 270 daerah di Indonesia akan dipimpin oleh pelaksana tugas (plt).
"Kewenangannya tidak sebesar mereka yang ditunjuk oleh publik. Plt terbatasi, tidak bisa menjalankan hal-hal yang bersifat substansial, yang berhubungan dengan anggaran dan kebijakan mengikat lainnya," kata Ikram.
Alasan kedua adalah terkait proporsi. Dari 270 wilayah yang akan melaksanakan pilkada, ada 44 wilayah yang terkena zona merah. Proporsi wilayah zona merah itu hanya 16,3 persen dibanding 270 pilkada yang ada. Ikram menyebut akan tidak adil bagi 83,7 persen wilayah lainnya apabila pilkada ditunda.
"Di zona merah yang 16,3 persen harus ada treatment khusus, sehingga tidak mengganggu pilkada. Misalnya dilarang melakukan pengerahan massa lebih dari lima orang. Bisa saja ada regulasi yang diskriminatif, ada pembatasan yang lebih ketat di 16,3 persen ini," tuturnya.
Kemudian alasan ketiga adalah soal kepastian hukum dan politik. Sebab, hingga saat ini belum ada kepastian kapan Corona akan berakhir. Jika Pilkada 2020 ditunda, masyarakat sendiri yang dinilai akan mengalami kerugian. Sebab, pilkada pada 270 daerah dianggap terlalu penting jika disandarkan pada situasi yang tak pasti.
Ikram pun memaparkan alasan keempat, yaitu mengenai pilihan kebijakan. Ia mengingatkan, mayoritas partai politik sudah satu suara menginginkan agar Pilkada 2020 tidak ditunda. Ini juga sudah dikuatkan atas keputusan pemerintah bersama dengan DPR.
"UU Pilkada dan Perppu mustahil diubah tanpa persetujuan presiden. Perppu dari presiden pun tak akan berlaku jika ditolak DPR, yang merupakan representasi partai politik," kata Ikram.
Urusan kesehatan menjadi alasan kelima agar Pilkada 2020 tidak ditunda. Untuk menghindari ada klaster Corona pada penyelenggaraan pilkada, LSI Denny JA menyarankan agar ada aturan khusus bagi 44 daerah (16,3 persen) peserta pilkada yang berstatus zona merah. Salah satunya, kata Ikram, peserta kampanye hanya lima orang.
Sementara itu, di wilayah lainnya, tak boleh publik berkumpul di atas 50 orang dengan protokol kesehatan tetap dijaga. Calon yang tidak mematuhi dapat dikenai sanksi bertingkat hingga didiskualifikasi.
"Sanksi dimulai dari teguran tertulis, denda uang, hingga calon kepala daerah didiskualifikasi dari peserta pilkada," ucap Ikram.
LSI Denny JA mengusulkan berbagai kampanye lain yang tidak perlu melakukan pengerasan massa. Mulai kampanye media, kampanye luar ruang, hingga door to door yang mengikuti protokol kesehatan. Ikram meyakini sarana kampanye door to door ini akan efektif bagi para calon kepala daerah.
"Pada masa kampanye, kita asumsi bisa bertemu menyapa masyarakat 50-500 orang per hari. Dalam sebulan, saya yakin bisa menyapa seluruh penduduk. Bisa juga memaksimalkan media luar ruang, social media, bahkan bisa juga menggerakkan relawan dan pendukung dari rumah ke rumah pemilih yang ditargetkan," urainya.
Meski begitu, KPU juga diminta memberi aturan keleluasaan pada metode kampanye seperti ini. Mengingat para calon kepala daerah sudah sangat terbatas untuk metode kampanye pengerahan massa.
"Karena sudah dibatasi perkumpulan, bagaimana mereka juga diberi keleluasaan di media sosial, door to door campaign juga diperluas. Jadi tidak kehilangan hak untuk dipilih dan memilih," ucap Ikram.
Alasan keenam agar pilkada tak ditunda adalah urusan ekonomi. Kegiatan pilkada dan kampanye di 270 wilayah diyakini dapat menjadi penggerak ekonomi lokal. Mulai biaya kampanye, biaya saksi, biaya tim sukses, biaya cetak dan pemasangan atribut dan lain-lain dapat bergulir ke masyarakat bawah atau di daerah.
"Di era sulit seperti ini, kegiatan yang dapat menggerakkan ekonomi sekecil apa pun, sejauh dapat mengontrol protokol kesehatan, harus didorong," kata Ikram.
Alasan terakhir adalah modifikasi bentuk kampanye. Ikram mengatakan, dengan kampanye dan pertemuan yang menghindari menghimpun orang banyak, Pilkada 2020 bisa dilakukan.
"Harus ada soliditas yang tinggi, bukan hanya pemerintah, tapi seluruh elemen masyarakat, ormas yang punya pandangan lebih baik ditunda harus bisa lapang dada karena keputusannya pilkada tetap dilaksanakan, ormas dan elemen masyarakat harus memastikan ke pemilihnya untuk berpartisipasi," tuturnya.
"Harus ada kebulatan suara sehingga publik merasa aman. Pemerintah juga harus menyiapkan protokol untuk menjamin agar masyarakat tidak waswas. Untuk menghindari kerumunan, TPS bisa ditambah, lalu untuk memperpanjang jarak, waktu buka TPS lebih diperpanjang," sambung Ikram.
Tonton video 'KPU Jelaskan Protokol Kesehatan Pilkada 2020':