Ketua bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Sasmito Madrim menyampaikan hasil survei dari salah satu media kajian, yakni remotivi, mengenai data kekerasan digital yang dialami jurnalis. Hasilnya, 21,8 persen jurnalis mengalami serangan digital.
"Serangan digital pertama ada doxing, itu identitas jurnalisnya disebarkan dengan tujuan negatif. Kalau ada orang-orang yang tidak suka dengan pemberitaan, biasanya tersebar baik KTP, ID card, dan sebagainya," Kata Sasmito dalam diskusi virtual bertajuk 21 Tahun UU Pers Potret Pers Indonesia Pasca Reformasi, Rabu (23/9/2020).
Sasmito menuturkan, selain doxing, jenis serangan digital lainnya adalah peretasan dan DDos. Menurut Sasmito, peretasan dan DDos tidak kalah berbahaya dengan doxing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada beberapa akun teman-teman yang diretas. Lalu di DDos, ini servernya dikirimi konten yang sangat banyak sekali, kemudian nggak bisa diakses," tuturnya.
Dari hasil survei itu juga, Sasmito mengatakan, kekerasan digital yang paling banyak dialami jurnalis adalah serangan pada media sosial (medsos) pribadi. Selain serangan media sosial, e-mail jurnalis diretas.
"Dari riset remotivi ini juga ada catatan kita, juga dari remotivi, hampir dari responden yang disurvei mengatakan 21 persen itu pernah mengalami serangan digital. Paling banyak media sosialnya atau e-mail-nya di-hack kemudian digunakan pihak lain," ujarnya.
Dikatakan Sasmito, sebanyak 28 persen akun media sosial memberikan komentar negatif serta mengancam ke akun media sosial pribadi jurnalis. Sementara itu, sisanya pencurian data dan mata-mata chat pribadi yang di-share ke publik.
"Kemudian ada 28 persen akun media sosialnya dibanjiri dengan komentar yang nyinyir dan mengancam. Dan sisanya ada pencurian data, informasi pribadi, kemudian disusul dengan aplikasi chat atau e-mail dimata-matai dan isinya disebarkan di internet," imbuhnya.
(idn/idn)