Anggota Ombudsman RI, Alvin Lie, mengaku heran mendapat bantuan kuota internet dari Kemendikbud, padahal dirinya bukan pengajar dan tidak berhak mendapatkannya. Komisi X DPR RI menyoroti proses verifikasi data yang dilakukan Kemendikbud.
"Catat saya ini adalah kelemahan data yang dimiliki Kemendikbud, tidak mau ambil resiko akhirnya semua dibagi rata, data yang selama ini dianggap bisa meng-cover segalanya. Faktanya saya kira dengan semua dibagi rata, saya kira itu menandakan banyak kelemahan di situ," kata Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda saat dihubungi, Selasa (21/9/2020).
Huda menuturkan verifikasi data, baik yang dilakukan Kemendikbud maupun pihak universitas sama-sama lemah. Menurutnya, pihak universitas juga harus bertanggung jawab dalam kasus Alvin Lie.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena dibagi rata semua akhirnya basis verifikasi di perguruan tinggi dan sekolah, ketika sekolah dan perguruan tinggi tidak berikan data yang valid, pasti Kemendikbud tidak mungkin lakukan verifikasi secara maksimal," tutur Huda.
"Kasus Alvin Lie itu kasus dia tercantum sebagai mahasiswa S3 UNDIP. Dia input oleh kampus untuk dapat subsidi. Pada konteks ini kampus harus tanggung jawab. Kedua ini bagian dari kelemahan data kita yang belum valid, termasuk data di Kemendikbud," imbuhnya.
Ia menilai harusnya subsidi itu merupakan bantuan yang diberikan untuk orang yang tidak mampu. Ia mengaku sempat menyarankan agar siswa atau mahasiswa yang merasa dari keluarga yang mampu secara finansial agar tidak menyetorkan nomor handphone ke pihak sekolah atau kampus.
"Saya imbau waktu itu bagi siswa dan mahasiswa yang merasa mampu tidak usah menyetorkan nomor HP-nya supaya tidak membebani anggaran subsidi kouta ini. Dalam kasus ini kalau dia mampu dan sudah terlanjur disetorkan oleh rektorat, ya saya kira Kemendikbud harus lakukan evaluasi untuk selanjutnya, kalau perlu dicabut," ujarnya.