PT Pos Indonesia resmi mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan meminta MK menghapus UU Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos. Sebab, UU itu dianggap melegitimasi liberalisasi pasar sehingga PT Pos bersaing dengan swasta. Kok bisa?
Dalam permohonan itu, duduk sebagai pemohon, yaitu PT Pos Indonesia dan seorang warga Kelurahan Andalas, Padang, Sumatera Barat (Sumbar) Harry Setya Putra. PT Pos mengemukakan sejumlah argumen dalam berkas yang didaftarkan ke MK pada 11 September 2020. Berikut sejumlah alasan PT Pos yang dirangkum detikcom, Senin (14/9/2020):
UU 38/2009 Dinilai Membuka Keran Liberalisasi
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PT Pos Indonesia menyebut sumber masalah adalah liberalisasi pos yang tertuang di Pasal 1 ayat 2 UU 38/2009 yang berbunyi:
Penyelenggara Pos adalah suatu badan usaha yang menyelenggarakan pos.
Pasal itu dinilai melegitimasi swasta terjun di dunia pos. Di mana pos adalah layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan, dan layanan keagenan pos untuk kepentingan umum.
"Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa penyelenggaraan pos dapat dilaksanakan oleh siapa pun sepanjang telah memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai badan usaha yang menyelenggarakan pos. Akibatnya, Pemohon (PT Pos Indonesia) kehilangan hak eksklusifnya sebagai pos negara. Dan bahkan menjadi tidak ada bedanya dengan penyelenggara pos non-negara. Di sisi lain, Pemohon (PT Pos Indonesia) sebagai pos negara masih dibebani kewajiban menyelenggarakan pelayanan umum," ujarnya.
Pos adalah Amanat Konstitusi
PT Pos Indonesia menyebut pos merupakan bagian dari Pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dengan tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar.
"Dibukanya akses bebas penyelenggara pos ini (liberalisme pos) menyebabkan Pemohon I (PT Pos Indonesia) mengalami kesulitan untuk bersaing dengan banyaknya penyelenggara pos swasta. Di satu sisi Pemohon I (PT Pos Indonesia) memiliki kewajiban untuk melaksanakan Layanan Pos Universal secara langsung di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan penyelenggaraan pos swasta tidak dibebani dengan kewajiban tersebut. Hal inilah yang menjadikan Pemohon I (PT Pos Indonesia) sebagai penyelenggara pos negara menjadi tidak optimal dalam memberikan pelayanan pos sebagai bentuk pelayanan fasilitas umum sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi," papar PT Pos dalam permohonannya.
Selain itu, pos juga amanat Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Jalur Rugi vs Jalur Untung
Dalam dunia perposan, dikenal jalur merugi dan jalur untung. Jalur merugi adalah jalur yang harus ditempuh perusahaan ketika mengirimkan paket/pos ke lokasi yang jauh dan akses susah. Sedangkan jalur untung adalah jalur yang mudah ditempuh sehingga menguntungkan karena infrastruktur sudah baik serta kuantitas pengiriman secara ekonomi bertumbuh pesat.
Kondisi Indonesia yang terdiri dari wilayah kepulauan dengan jarak yang terpencar, membuat jalur merugi cukup banyak.
Di di sisi lain, PT Pos Indonesia wajib mengambil dua jalur di atas, baik yang merugi atau yang untung. Sedangkan swasta hanya mengambil yang menguntungkan semata.
Mempertanyakan Tanggung Jawab Swasta
PT Pos mempertanyakan tanggung jawab swasta mengapa hanya mengambil jalur yang menguntungkan semata. Sehingga secara entitas bisnis, swasta dianggap selalu untung. Adapun PT Pos, dianggap tidak bisa berkembang karena harus menutup semua jalur, termasuk jalur merugi.
"Tidak ada ketentuan yang mewajibkan Badan Usaha Milik Swasta yang melakukan kegiatan penyelenggaraan pos wajib memiliki sarana dan prasarana pelayanan pos di seluruh di wilayah Republik Indonesia. Sehingga Badan Usaha Milik Swasta bebas memilih wilayah-wilayah tertentu yang menguntungkan secara ekonomi untuk melakukan kegiatan penyelenggaraan pos.
Dukungan Negara Terhadap Bisnis Pos
Di banyak negara, pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap pos sehingga usaha pos maju. Seperti di Jerman, Deutsche Post mengakuisisi DHL. Di Jepang, pemerintah mengubah bisnis pos dengan menambah lini bisnis menjadi 'bank tabungan' dengan 24.500 kantor cabang sehingga menjadi bank terbesar di dunia. Hal serupa juga dilakukan di berbagai negara lain. Hal itu seharusnya bisa dilakukan di Indonesia.
(asp/gbr)