DPR meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak judicial review (JR) UU Penyiaran yang diajukan oleh dua stasiun televisi RCTI dan iNews. DPR menilai penyiaran lewat YouTube hingga Netflix tidak perlu tunduk ke UU Penyiaran, tetapi UU lain yang terkait.
"Berdasarkan keterangan tersebut diatas DPR RI memohon agar Yang Mulia memberikan amar sebagai berikut menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing sehingga permohonan aquo harus dinyatakan tidak dapat diterima," kata anggota Komisi III DPR Habiburokhman saat membacakan pandangan DPR di sidang MK, yang digelar secara streaming di YouTube MK RI, Senin (14/9/2020).
"Kedua, menolak permohonan aquo untuk seluruhnya," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
DPR juga meminta agar hakim konstitusi menerima keterangan DPR secara keseluruhan. Serta meminta hakim konstitusi menetapkan UU Penyiaran yang digugat pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945.
"Menyatakan pasal 1 angka 2 UU 32 tahun 2002 tentang penyiaran tidak bertentangan dengan UUD RI dan tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat," sambungnya.
Habiburokhman menilai ketentuan pasal tersebut yang dianggap merugikan pemohon tidak pas. Sebab, para pemohon telah diberikan hak melakukan penyiaran sebagaimana diatur di UU Penyiaran.
"Apabila para pemohon beranggapan pasal aquo menyebabkan perlakuan yang berbeda terhadap pihak yang melakukan penyiaran dengan sarana pemancaran melalui media internet hal tersebut tidak relevan dijadikan alasan adanya hak atau kewenangan para pemohon yang dirugikan oleh pasal aquo karena para pemohon justru sudah diberikan hak atau kewenangan dalam melakukan kegiatan penyiaran melalui ketentuan pasal aquo," katanya.
"Oleh karena itu para pemohon yang menyatakan ketentuan pasal aquo menyebabkan perlakukan yang berbeda hanya merupakan asumsi para pemohon," sambungnya.
Habiburokhman menyoroti dalil pemohon yang menilai layanan over the top (OTT) yang tidak diakomodir di UU Penyiaran menyebabkan ambiguitas dan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan penyiaran. Akan tetapi, Habiburokhman menjelaskan yang diatur dalam UU Penyiaran adalah siaran yang melalui sarana pemancaran dengan menggunakan spektrum radio yang ditetapkan pemerintah sehingga layanan OTT tidak termasuk yang diatur di UU Penyiaran.
"Terhadap perbedaan antara aktivitas penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio yang dipancarkan secara serentak dan bersamaan yang disandingkan dengan layanan OTT yang menggunakan internet dengan spektrum frekuensi radio yang dimungkinkan tidak dipancarkan secara serentak dan bersamaan hal tersebut tidak relevan dijadikan alasan menyebabkan ambiguitas dan ketidakkepastian dan kepastian hukum mengenai definisi penyiaran karena pasal aquo," kata Habiburokhman.
Sebelumnya, dua stasiun televisi RCTI dan iNews menggugat UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya meminta setiap siaran yang menggunakan internet, seperti YouTube hingga Netflix, tunduk pada UU Penyiaran. Bila tidak, RCTI-iNews khawatir muncul konten yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Hal itu terungkap dalam permohonan judicial review yang dilansir website MK, Kamis (28/5/2020). Permohonan itu ditandatangani oleh Dirut iNews TV David Fernando Audy dan Direktur RCTI Jarod Suwahjo. Mereka mengajukan judicial review Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran yang berbunyi:
Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
"Bahwa apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet, maka jelas telah membedakan asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran antar penyelenggara penyiaran. Konsekuensinya bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa," demikian bunyi alasan judicial review RCTI-iNews TV dalam berkas itu.
Selain itu. pihak RCTI dan iNews TV juga menampik gugatan di (MK) bisa berimbas masyarakat tak bisa live di media sosial. Mereka menyinggung soal tanggung jawab moral.
"RCTI dan iNews bukan ingin kebiri kreativitas medsos, uji materi UU Penyiaran untuk kesetaraan dan tanggung jawab moral bangsa," kata Corporate Legal Director MNC Group Christophorus Taufik dalam keterangan tertulis MNC Group, Jumat (28/8/2020).
Simak video 'Gugatan RCTI Ancam Kebebasan Live di Medsos, Ini Kata Menkominfo ':