Dewan Pers telah merampungkan survei Indeks Kemerdekaan Pers tahun 2020. Hasilnya memang meningkat, namun banyak catatan.
Survei Indeks Kemerdekaan Pers Tahun 2020 merupakan gambaran dari kondisi kemerdekaan pers periode Januari 2019 sampai dengan Desember 2019. Survei penyusunan IKP 2020 dilaksanakan di 34 provinsi dengan 9 Informan Ahli pada setiap provinsi.
9 Informan Ahli tersebut terdiri dari 3 orang Informan Ahli dari Pengurus Aktif Organisasi Wartawan, 2 Orang dari Pimpinan Perusahaan Pers, 2 Orang dari unsur pemerintahan dan 2 Orang dari unsur masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama lima tahun berturut-turut, hasil survei IKP menunjukkan tren peningkatan nilai IKP, yaitu, 63,44 (2016), menjadi 67,92 (2017), 69,00 (2018), 73,71 (2019), dan terakhir 75,27 (2020). Nilai IKP 2020 ini mengalami kenaikan tipis sebanyak 1,56 poin dari IKP 2019. Kategori kemerdekaan pers yang sebelumnya "Agak Bebas" pada IKP 2016-2018 pun naik peringkat menjadi "Cukup Bebas" pada 2019-2020.
"Tren IKP mengalami pergeseran dari kategori 'agak bebas' pada 2016 sampai 2018, dan pada 2019 sampai 2020 menjadi 'cukup bebas'," ujar Ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers Asep Setiawan dalam seminar virtual yang digelar Jumat (11/9/2020).
Meskipun terjadi peningkatan, beberapa persoalan yang menghambat pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia masih terjadi, yaitu antara lain adanya tekanan pemilik perusahaan pers pada kebijakan redaksi, termasuk penentuan arah politik media; intervensi pemerintah daerah terhadap isi pemberitaan; adanya kekerasan terhadap wartawan di masa tahun politik 2019; kurangnya kesejahteraan wartawan; dan masih banyak wartawan yang kurang menjunjung tinggi etika pers.
Secara khusus, Asep juga menyoroti khusus para politisi dan partai politik telah menjadikan sejumlah media massa sebagai kendaraan politik pada Pemilu 2019.
"Berdasarkan hasil survei ini, kesimpulan yang diambil antara lain pada tahun 2019, beberapa politisi dan partai politik menjadikan media massa sebagai kendaraan politik," kata Asep.
Asep mengatakan, di tahun 2019 yang bertepatan dengan pemilu presiden dan legislatif membuat pers rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik. Penggiringan opini kerap dilakukan melalui media milik pemimpin partai untuk menguntungkan kelompoknya. Ini menyebabkan pemberitaan di media menjadi kurang akurat, berimbang, dan cenderung eksploitatif.
"Selain itu, perusahaan pers menjadi tidak independen dan tata kelola perusahaan kurang baik," tutur Asep.
(fjp/fjp)