DPR RI saat ini sedang menggodok revisi UU (RUU) Kejaksaan, namun telah menuai sorotan. Komisi Kejaksaan (Komjak) menilai RUU Kejaksaan diperlukan di tengah perkembangan zaman.
"Yang pertama, inikan UU Kejaksaan yang ada sekarang UU 16 tahun 2004 itukan sudah 16 tahun kan. Jadi, dalam dinamika perkembangan masyarakat, dalam dinamika kasus-kasus kejahatan, kan itu berkembang pesat, apalagi di bidang pengembangan kasus-kasus berkaitan dengan ekonomi, berkaitan dengan era 4.0 ini tentu harus ada penyesuaian," kata Ketua Komjak, Barita Simanjuntak saat dihubungi, Rabu (9/9/2020).
Barita menilai RUU Kejaksaan merupakan keharusan dan diperlukan. RUU Kejaksaan dinilai untuk memperkuat penegakan hukum yang dilakukan kejaksaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena itu revisi itu menurut kami merupakan keharusan. Ya itu pilihan yang harus dilakukan untuk semakin memperkuat penegakan hukum yang dilakukan oleh kejaksaan. Jadi dari sudut formalnya, dari sudut keutuahannya memang diperlukan. Apalagi ada perkembangan-perkembangan baru," ujarnya.
Namun, lebih daripada itu, Barita memberikan catatan menyangkut substansi RUU Kejaksan ini. Barita menyoroti terkait kewenangan yang bisa bersinggungan dengan aparat hukum lainnya.
"Namun yang kedua, menyangkut substansinya, di dalam RUU yang baru ini kan ada usulan-usulan beberapa hal yang berkaitan dengan kewenangan, penambahan kewenangan gitu ya, dan ini ada singgungannya juga kepada penegak hukum lain, misalnya di kepolisian maupun di kehakiman kan," ucapnya.
Oleh karena itu, bila ada kewenangan yang diperluas, menurut Barita perlu ada sinkronisasi atau koordinasi lintas lembaga. Hal ini menurut Barita agar tak terjadi benturan antarlembaga yang malah menimbulkan kontra produktif.
"Tentu saja, kalau kita lihat dari perspektif itu, kalau sudah ada berkaitan dengan kewenangan yang diperluas, bersinggungan dengan kewenangan yang diperluas. Nah ini supaya terjadi harmonisasi tidak sektoral dia sebaiknya dia disinkronkan, dibicarakan, dikoordinasikan, lintas kelembagaan penegak hukum ini," sebut Barita.
"Sehingga jangan sampai terjadi benturan-benturan yang kontra produktif terhadap upaya membangun penguatan kelembagaan penegak hukum khususnya kejaksaan," imbuhnya.
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dkk menilai revisi UU Kejaksaan berpotensi penyalahgunaan wewenang dari hulu ke hilir. Sebab, peran kejaksaan di revisi itu semakin powerful.
Revisi pasal yang dimaksud yaitu pasal 30 ayat 5 yang mengatur wewenang dan tugas Kejaksaan di bidang ketertiban dan ketenteraman umum yaitu penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum yang meliputi:
a. kewenangan selaku intelijen penegakan hukum;
b. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
c. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
d. pengawasan peredaran barang cetakan dan multimedia;
e. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
f. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
g. penyadapan dan menyelenggarakan pusat monitoring.
"Wewenang dan tugas ini memiliki beberapa masalah yaitu membuat Kejaksaan memiliki wewenang dari hulu ke hilir sehingga berpotensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Kejaksaan dalam hal ini berwenang sebagai intelijen, pengawasan, pencegahan, edukasi dan penegakan hukum," kata Ketua YLBHI Bidang Advokasi, Muhamad Isnur, kepada wartawan, Rabu (9/9).
"Padahal kita tahu intelijen idealnya bukan fungsi yang bisa sekaligus melakukan eksekusi atau penegakan hukum. Selain itu fungsi pencegahan yang salah satunya diwujudkan dalam peningkatan kesadaran hukum masyarakat sangat berpotensi bias dan diskriminatif karena Kejaksaan juga pengawas dan penegak hukum," sambung Isnur.