Dukungan terhadap lahirnya Undang-Undang yang mengatur fungsi, tugas, kedudukan serta kewenangan MPR seperti yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 terus bertambah. Dukungan itu, salah satunya muncul lewat salah satu skripsi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).
Skripsi tersebut berjudul 'Konstitusionalitas Pembentukan Undang-Undang Kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Sebagai Bentuk Pengejawantahan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945'. Restu Gusti Monitasari selaku penulis skripsi mengatakan fungsi dan tugas MPR terkesan menjadi rancu, karena diatur dalam satu UU yang sama dengan DPR DPD dan DPRD. Menurutnya, antara MPR dengan tiga lembaga lainnya seolah memiliki fungsi, tugas dan peran yang sama, padahal sangat berbeda.
"Seperti halnya Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, BPK serta Komisi Yudisial, seharusnya MPR juga diatur secara terpisah dari DPR, DPD dan DPRD, dalam undang-undang tersendiri. Ini sesuai dengan perintah pasal 2 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945," ujar Restu dalam keterangannya, Jumat (4/9/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut disampaikan dalam acara Pustaka Akademika yang berlangsung di Auditorium Gedung B Untirta Serang Banten, Rabu (2/9). Selain membedah skripsi, dalam acara tersebut juga dilaksanakan penandatanganan MoU antara Perpustakaan MPR dengan Untirta yang diwakili oleh Kepala Biro Humas MPR Siti Fauziah dan Dekan FH Untirta Agus Prihartono.
Restu menambahkan pengaturan MPR bersama lembaga lain, khususnya DPRD merupakan kerancuan yang sangat nyata. Pasalnya, DPR bukanlah lembaga legislatif, seperti halnya DPR, yang memiliki kewenangan pembuatan UU. Sebaliknya DPRD merupakan bagian dari pemerintah daerah, yang salah satu tugasnya adalah menyusun peraturan daerah. Oleh karena itu, sebaiknya DPRD tidak diatur dalam UU tentang MD3 karena sudah tepat jika DPRD diatur dalam UU Kewenangan Pemerintah Daerah.
"Pembentukan UU tentang MPR adalah konstitusionalitas untuk memisahkan dengan lembaga negara yang lain. Karena MPR memang memiliki tugas dan wewenang yang berbeda dengan lembaga negara lainnya," imbuhnya.
Senada dengan Restu, penelaah dalam Pustaka Akademika Lia Riesta Dewi mengatakan sesuai amanat pasal 1 ayat (2) dan pasal 2 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, MPR harus diatur dalam UU tersendiri, terpisah dari lembaga lainnya. Jika terpaksa, MPR masih bisa diatur menggunakan UU yang sama dengan DPR dan DPD, namun tidak dengan DPRD. Pasalnya, MPR, DPR dan DPD memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding DPRD.
"MPR harus diatur dalam UU tersendiri, sehingga tidak ada kerancuan. Minimal UU tersebut tidak mengatur DPRD di dalamnya. Karena tugas DPR dan DPRD berbeda. Satu bagian legislatif dan satunya lagi bagian dari pemerintah daerah," katanya.
Lia juga menambahkan pengaturan MPR menggunakan UU tersendiri terpisah dari lembaga negara lain, merupakan amanat konstitusi sebagaimana perintah UUD NRI Tahun 1945.
Sementara itu Kepala Biro Humas MPR Siti Fauziah mengatakan MPR terbuka untuk melakukan kerja sama dengan semua pihak, termasuk perguruan tinggi baik swasta maupun negeri. Bahkan, perpustakaan MPR juga terbuka membedah hasil skripsi para mahasiswa, selama berkaitan dengan tugas fungsi dan kewenangan MPR. Apalagi, jika bisa bermanfaat bagi perkuliahan para mahasiswa.
"Dalam kondisi seperti sekarang MPR memang membatasi kegiatannya, dengan tujuan ikut mencegah penyebaran COVID-19. Kalau pun tetap dilaksanakan seperti di Untirta, pelaksanaannya harus memperhatikan protokol kesehatan," pungkasnya.
Dalam acara tersebut, turut hadir Kepala Biro Humas MPR Siti Fauziah, Wakil rektor III Untirta Suherna, Dekan FH Untirta Agus Prihartono, para dosen, dan mahasiswa Untirta Serang Banten.
(akn/ega)