Universitas Airlangga (Unair) tengah meneliti kombinasi obat virus Corona (COVID-19). Kini, hasil penelitian itu telah memasuki tahap uji klinis.
"Kami mengembangkan obat-obat yang sudah ada, karena di situasi pandemi butuh percepatan-percepatan sehingga kembali lagi untuk pintasan-pintasan kami meneliti obat-obat yang sudah ada untuk kita kombinasikan menjadi kombinasi obat baru," kata Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Unair, Purwanti, dalam rapat di Komisi IX DPR, Senin (31/8/2020).
Unair bekerja sama dengan Badan Intelijen Negara (BIN) hingga TNI AD dalam pengembangan obat tersebut. Selanjutnya, tak hanya mengembangkan obat, Unair juga dipercaya melakukan uji klinis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebelumnya di awal kita mengemban amanah riset untuk invitro, tapi setelah ada hasil kita kembalikan ke pihak pemberi amanah, yaitu BIN, kemudian didiskusikan dengan stakeholder seperti BPOM dan juga waktu itu Kementerian Kesehatan, kita diminta untuk mengemban amanah lagi, yaitu uji klinis," ujar Purwanti.
Purwanti menjelaskan uji klinis fase 3 dijalankan setelah mendapatkan persetujuan dari BPOM. Setiap perkembangan uji klinis, kata Purwanti, akan dilaporkan ke BPOM.
"Uji klinis ini kita jalankan setelah kita mendapat PPUK, yaitu Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis dari Badan POM, kemudian juga setelah mendapatkan sertifikat laik etik dari Komite Etik Rumah Sakit Airlangga. Di tengah perjalanan, setiap perubahan kami laporkan, baik itu Komite Etik maupun ke Badan POM," ujarnya.
Purwanti menegaskan pelaksanaan penelitian menggunakan metode RCT double blind dan memiliki sejumlah protokol untuk pasien yang akan menjadi subjek penelitian. Purwanti lalu memaparkan protokol yang dimaksud.
"Jadi untuk kehati-hatian, di sini protokol yang sudah mendapat PPUK dan review dari Badan POM, yaitu ada melalui kriteria inklusi dan eksklusi, yaitu laki-laki, perempuan dewasa, terkonfirmasi derajat ringan sampai berat, dan pasien bersedia menandatangani inform consent. Kemudian kriteria ekslusi yaitu anak, ibu hamil, ibu menyusui. Karena di sini untuk kehati-hatian kita tidak tahu, peneliti tidak tahu jenis obat yang diberikan kepada pasien, pasien juga demikian," jelas Purwanti.
"Maka di sini pasien yang punya gangguan liver, ginjal, dan jantung, maka di-exclude dari penelitian ini. Ini kita evaluasi tiap hari, termasuk juga rekam jantung, apabila ada perpanjangan daripada irama, maka di situ kita drop out tidak kita lanjutkan," lanjut dia.
Selanjutnya, jika pasien telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, kelompok perlakukan akan dibuat acak. Sejauh ini, ada 74 pasien positif Corona yang memenuhi kriteria yang ada.
"Di mana pasien yang terkonfirmasi Corona, pasien tersebut sesuai memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, maka di sini selanjutnya kita lakukan randomisasi. Jadi randomisasi di sini adalah untuk kelompok perlakuan, dan ini kita menggunakan program excel. Jadi nanti kelompok perlakuan di-random. Peneliti tidak mengetahui obat yang diberikan jenisnya apa, sehingga tidak mempengaruhi untuk independensi. Di sini juga untuk subjek tidak mengetahui apa yang diberikan. Dari yang sekarang dari 1.054 yang di-screening, maka yang memenuhi persyaratan ada 74. Dibagi menjadi 6 kelompok," paparnya.
Dari hasil uji yang dilakukan, didapatkan hasil ada perubahan hasil tes PCR dari positif menjadi negatif Corona di hari ke-3. Purwanti pun berharap hasil obat itu bisa memutus mata rantai penularan virus Corona.
"Harapan penelitian, maka apabila terjadi konversi di hari 3, maka masa isolasi yang minimal 14 hari bisa menjadi 3 hari. Dengan demikian maka yang penurunan copy virus, maka akan bisa memutus mata rantai penularan. Karena secara epidemiologi, apalagi yang ringan atau OTG, walaupun OTG tidak masuk ke sini, itu mobilitasnya tinggi sekali. Pasien tidak stres dan pasien bisa lekas bekerja dan produktif kembali," ungkapnya.