Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima judicial review yang diajukan Yayasan Perludem yang mempersoalkan parliamentary threshold (PT) dalam UU Pemilu. MK belum memeriksa pokok perkara karena yang mengajukan judicial review bukan Ketua Perludem. Bagaimana pascaputusan MK itu?
"Pertama, tidak diterimanya permohonan Perludem tersebut seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi pencari keadilan konstitusional agar lebih memperhatikan syarat formil dalam mengajukan permohonan judicial review. Sehingga meskipun disampaikan bahwa permohonan Perludem tersebut tidak dimaksudkan untuk menghapuskan sistem PT di UU Pemilu namun semangat pengujian UU yang diajukan oleh Perludem menjadi tidak dapat diperjuangkan dalam ruang pengujian konstitusional yang kembali dapat menjadi bahan debat publik yang sehat tentang demokrasi," kata ahli hukum tata negara Dr Tuti Wdiyaningrum saat berbincang dengan detikcom, Minggu (30/8/2020).
Kedua, kata Tuti, penentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang sudah pernah dimintakan judicial review di MK menunjukkan bahwa urusan ambang batas parlemen telah menjadi isu yang seksi dalam muatan pengaturan tentang Pemilu di Indonesia. Presentase PT yang terus naik pada setiap periode Pemilu dimaknai sebagai upaya penyederhanaan kepartaian agar proses pemilu dapat efektif dalam memilih pemimpin publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun demikian upaya penyederhanaan kepartaian melalui PT yang bahkan oleh ahli diusulkan menjadi 5% bukanlah suatu upaya pembangunan demokrasi yang berkualitas," ucap pengajar Universitas 17 Agustus Jakarta itu.
Persoalan mendasar penentuan PT yang diberlakukan selama ini apakah sudah efektif merepresentasikan kedaulatan rakyat. Apakah parliamentary threshold itu sejalan dengan pengakuan hak politik rakyat, ataukah parliamentary threshold telah mendukung upaya demokratisasi kepartaian itu sendiri.
"Adanya penentuan parliamentary threshold -apalagi dengan persentase yang tinggi-agar sistem kepartaian di Indonesia bisa lebih sederhana, tentunya harus diwaspadai sebagai upaya kooptasi kedaulatan rakyat," cetus Tuti.
Menurut Tuti, ketika animo publik terhadap politik cenderung apatis,maka akan semakin menjauhkan masyarakat untuk peduli terhadap Pemilu. Sebab pilihan aspirasi rakyat itu sendiri menjadi terbatas.
"Persentase penentuan PT harus dilakukan secara transparan dan akuntabel sehingga rasionalitas rumus keterwakilan suara rakyat di Parlemen dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Selama ini mekanisme pemberlakuan PT pada tiap periode Pemilu selalu menjadi biang masalah karena suara rakyat akan terbuang percuma (waisted vote)," papar Tuti
Ke depan, diperlukan upaya evaluasi yang komprehensif dalam menentukan besaran PT untuk periode Pemilu mendatang. Akan lebih baik jika persentase PT yang sekarang (4 persen) tetap dipertahankan dengan memperbaiki sistem Pemilu, penyelenggara pemilu dan pengawasan Pemilu.
"Agar Pemilu yang demokratis dapat menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar membawa dan memperjuangkan suara rakyat," pungkas Tuti.
(asp/yld)