Film berjudul 'Jejak Khilafah di Nusantara' ramai dibicarakan di Twitter. Bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharam, pembahasan filmnya menjadi trending topic sampai memunculkan tagar #JejakKhilafahdiNusantara dan #DakwahSyariahKhilafah.
Film yang diinisiasi oleh sejarawan bernama Nicko Pandawa bersama Komunitas Literasi Islam JKDN ini sempat ditayangkan live di YouTube kanal Khilafah Channel pada Kamis (20/8) pukul 09.00 WIB.
Netizen yang meramaikan Twitter dengan tagar tersebut kebanyakan mengajak orang lain menonton film itu. Sebagian dari mereka membagikan cuplikan video film tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Analis Drone Emprit menyatakan film ini ramai dibahas di Twitter dan mendapat perhatian masyarakat karena ada bantuan bot. Twitter menjelaskan bot adalah akun yang bertindak secara otomatis. Berikut penjelasan bot oleh Twitter:
Orang sering kali merujuk istilah bot kepada aktivitas akun otomatis, atau individu dengan akun anonim yang--karena berbagai alasan--memilih tidak menggunakan foto diri untuk menjaga privasi. Istilah bot juga disematkan pada akun dengan nama pengguna numerik yang dibuat secara otomatis ketika nama yang diinginkan sudah tidak tersedia, dan yang lebih mengkhawatirkan. Hal ini kerap dijadikan sebagai alat politik untuk menggiring opini atau pandangan terhadap orang lain yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka.
Kembali ke analisis Drone Emprit. Drone Emprit lalu membandingkan film 'Jejak Khilafah di Nusantara' dengan 'Tilik', film pendek yang berisi obrolan ibu-ibu.
Film 'Tilik' meluncur di YouTube pada 17 Agustus 2020, berkisah tentang obrolan ibu-ibu dan karakter Bu Tejo. Sementara film 'Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN)' meluncur pada 20 Agustus 2020, berkisah tentang hubungan khilafah di Mesir dan Turki di Nusantara.
"Kalau JKDN dari awal sudah dikondisikan. Dan dicek, itu bot. Kalau Tilik itu natural," kata founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, kepada detikINET, Jumat (28/8/2020).
Menurut Ismail, dari analisis Drone Emprit, Tilik kebanyakan dibahas oleh klaster nonpartisan yang tidak terlalu minat dengan JKDN. Sedangkan JKDN dibahas oleh tiga kelompok, yaitu pro-khilafah, pro-oposisi dan pro-pemerintah. Tiga kelompok ini pun tidak terlalu minat dengan Tilik.
Saat dilakukan social network analysis, tampaklah mana yang popularitasnya alami dan buatan. Ismail lalu menghitung bot score dengan skala 1 (manusia/hijau) - 5 (bot/merah).
Tilik mendapat skor 1,34, kurva distribusinya dominan tengah, artinya percakapannya adalah natural. Sebanyak 75,8 persen posting-an dilakukan oleh akun sungguhan dengan follower 100-100 ribu. Hanya 24,2 persen posting-an dari akun yang minim follower atau terindikasi bot.
Sedangkan JKDN mendapatkan skor 2,54 dan kurva distribusinya dominan di kiri. Artinya, ada indikasi separuh posting-an dilakukan oleh bot. Sebanyak 56,67persen cuitan JKDN dilakukan akun minim follower atau bot. Jika kluster pro-khilafah diperbesar, tampak node warna oranye atau merah yang mengindikasikan bot. Bahkan terdeteksi jelas ada 3 akun robot yang superaktif, tapi menyendiri di sudut kanan bawah.
Soal isinya, film JKDN pun ditangkap sejarawan Prof Peter Carey sebagai sebuah khayalan. Film ini disebut lebih mendekati sebuah khayalan untuk kepentingan propaganda ketimbang dokumenter. Materi yang sama sekali tidak didukung data atau arsip kesejarahan yang valid antara lain terkait hubungan Diponegoro maupun kesultanan-kesultanan Islam di Jawa sebelumnya Turki Utsmani.
Menurut Peter Carey, yang selama 40 tahun meneliti sejarah Jawa dan Diponegoro, setiap bantuan yang pernah diterima Diponegoro biasa dituliskan dalam babad. Ia mencontohkan adanya bantuan dari kerajaan di Buleleng Bali atau pasukan Bugis di Makassar.
"Tapi Babad Diponegoro sama sekali tidak menyebutkan adanya bantuan dari Turki Utsmani, baik pasukan, persenjataan, atau sekadar dukungan moral," kata Peter kepada tim Blak-blakan detikcom.
![]() |
Tak cuma itu. Ia juga mendapat penjelasan dari koleganya di Istanbul, Turki, Dr Ismail Hakki Kadi yang meneliti banyak arsip di era Turki Utsmani tidak menemukan informasi adanya kontak antara Raden Patah (1475-1518) dari Demak dengan Turki Utsmani.
"Film Jejak Khilafah ini dibuat tanpa punya pijakan kearsipan sejarah. Ini semacam khayalan," tegas Peter Carey, yang menulis sejumlah buku terkait Perang Jawa dan Diponegoro.
Meski begitu, sebagai akademisi, Peter tak setuju jika terjadi penyensoran atau pelarangan terhadap film tersebut. Tetapi justru harus menjadi pendorong bagi pihak-pihak yang tertarik mengenai isu tersebut untuk melakukan riset dan kajian secara lebih tekun dan profesional.