Green Ship Strategy merupakan sebuah inisiatif yang digagas oleh Jepang dan telah diadopsi pada pertemuan 18th Senior Transport Officials Meeting (STOM) + Japan and 17th ASEAN Transport Minister (ATM) Meeting +Japan pada November 2019 lalu.
"Saat ini Indonesia sudah menggunakan B-20 dan B-30. Sedangkan untuk B-50 saat ini sedang dalam uji coba dan ditargetkan dapat dipasarkan secara komersil untuk kapal-kapal Indonesia pada akhir tahun 2020," kata Kasubdit Angkutan Laut Luar Negeri Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Laut Yudhonur Setiaji dalam keterangan tertulis, Jumat (28/8/2020).
Pada pertemuan tersebut, Indonesia juga melaporkan dan membahas perkembangan proyek-proyek transportasi laut di bawah Kuala Lumpur Transport Strategic Plan (KLTSP) 2016-2025. Adapun yang perlu ditindaklanjuti antara lain persiapan pengoperasian pelabuhan dan kapal Ro-Ro rute Dumai-Malaka dan rute lainnya, perkembangan implementasi Ballast Water Management Convention untuk kapal yang beroperasi secara eksklusif di Selat Malaka dan Singapura.
Kemudian ada perkembangan Joint Hydrograhic Survey di Selat Malaka dan Selat Singapura (SOMS), perkembangan pembahasan draft text ASEAN Agreement on Aeronautical and Maritime Search and Rescue Cooperation pada pertemuan ASEAN Transport SAR FORUM (ATSF), perkembangan National Work Plan kegiatan MEPSEAS Project, serta perkembangan praktek serta pedoman terkait rencana pemulihan pelayaran pascapandemi COVID-19.
Selanjutnya, Yudho menyampaikan Indonesia telah melakukan peningkatan dalam pengimplementasian Electronic Data Interchange. Adapun upaya peningkatan tersebut antara lain dengan menerapkan online delivery orders (DO Online) untuk aktivitas impor barang dan juga penerapan e-sertifikat.
"Saat sudah ada lima pelabuhan di Indonesia yang menerapkan DO Online untuk impor barang, antara lain Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, Makassar dan Tanjung Emas. Selain itu, saat ini, kami juga tengah mengembangkan sistem informasi maritim untuk sertifikasi kapal dan pelaut yang memenuhi standar IMO," ujarnya.
Terkait perkembangan Rute Kapal RoRo Dumai-Malaka, Yudho menyampaikan Indonesia dan Malaysia telah berkomitmen untuk mempertahankan rute ini. Meski demikian, tetap ada beberapa permasalahan teknis yang masih perlu didiskusikan.
"Kami (Indonesia dan Malaysia) telah merencanakan Pertemuan 2nd Sub-Committee Meeting pada bulan Juli 2020 lalu untuk membahas masalah teknis seperti iso komoditas, surat izin mengemudi, jenis kendaraan dan karantina. Namun karena terkendala oleh pandemi COVID-19, kami akan merencanakan ulang untuk mengadakan pertemuan tersebut," jelasnya.
Sedangkan untuk Rute Kapal RoRo Bitung-Davao/General Santos, menurut Yudho, saat ini Indonesia dan Filipina tengah mendalami kemungkinan lain untuk meneruskan rute ini. Termasuk membuka kesempatan rute ini untuk dilalui semua jenis kapal, tidak hanya kapal RoRo.
Selain itu, sidang juga membahas mengenai perkembangan Joint Hydrograhic Survey (JHS) di Selat Malaka dan Selat Singapura (SOMS) yang diselenggarakan berdasarkan hasil dari Pertemuan Tripartite Technical Expert Group (TTEG) ke-39 di Langkawi, Malaysia pada 2014. Hasil dari pertemuan itu kemudian ditindaklanjuti dengan penandatanganan MoU oleh tiga Negara Pantai, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura dengan Malacca Strait Council (MSC) pada 2017 di Kinabalu, Malaysia.
JHS tahap 1 telah dilaksanakan pada lima wilayah kritis di Selat Malaka dan Selat Singapura, yakni Cape Rachardo, One Fathom Bank, Buffalo Rock, Batu Berhanti, dan Off Pulau Sebarok. Sedangkan area survey JHS Tahap 2 adalah seluruh Traffic Separation Scheme (TSS) di wilayah SOMS, terkecuali lima wilayah kritis yang telah disurvey pada JHS Tahap 1.
JHS Tahap 2 rencananya akan dilaksanakan di perairan Malaysia dan diharapkan dapat diselesaikan pada 2020. Namun demikian karena terkendala Pandemi COVID-19, MSC mengusulkan perpanjangan tanggal penyelesaian proyek dari 31 Desember 2020 menjadi 31 Maret 2022. Sedangkan pekerjaan akan dilanjutkan pada Oktober 2020 atau Februari 2021, tergantung kondisi COVID-19.
Yudho mengatakan Indonesia mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Jepang, Malaysia, Singapura dan Sekretariat ASEAN atas dimulainya Joint Hydrographic Survey of the Straits of Malacca & Singapore yang merupakan upaya penting dalam meningkatkan keselamatan navigasi dan perlindungan lingkungan laut di SOMS.
"Kami memahami kendala yang dihadapi sehingga menyebabkan penundaan pekerjaan dan sangat mendukung upaya yang telah dilakukan oleh MSC dan 3 Negara Pantai di Selat Malaka dan Singapura serta Sekretariat ASEAN, untuk memastikan keberlangsungan pekerjaan ini sehingga dapat diselesaikan berdasarkan jadwal yang telah direvisi," tukasnya.
Lebih lanjut, menurut Yudho, pada Pertemuan AMTWG ke-19 ini Indonesia juga menyampaikan dukungannya terhadap Risk Mitigation Proposal serta pendekatan proposal perpanjangan tahun Proyek MEPSEAS hingga 2022.
"Terkait dengan proyek MEPSEAS, Indonesia mendukung pelaksanaan kegiatan lanjutan dalam bentuk remote program atau mode operasi jarak jauh dengan menggunakan e-tools seperti program webinar, konferensi online dan e-training, dengan fokus khusus pada penyelenggaraan Compliance Monitoring and Enforcement (CME)," ungkap dia.
Pada pertemuan ini, Indonesia juga menyampaikan apresiasi kepada International Maritime Organization (IMO) atas update yang disampaikan terkait praktik/pedoman global operasi pelayaran pasca COVID-19, serta atau upaya dan tindakan yang luar biasa dan substansial yang dilakukan oleh IMO dengan menerbitkan serangkaian surat edaran sebagai saran kepada negara-negara anggota, pelaut, serta komunitas pelayaran.
"Kita semua tahu bahwa pandemi ini telah membuat negara-negara Anggota ASEAN menetapkan pembatasan perjalanan sehingga muncul kekhawatiran baru terhadap para pelaut serta operasi pelayaran, seperti misalnya masalah repatriasi atau pertukaran Anak Buah Kapal (ABK), atau jika terjadi kasus darurat di mana Pelaut membutuhkan bantuan medis," paparnya.
Yudho beranggapan, bahwa MTWG dapat menjadi wadah untuk pertukaran informasi antara negara-negara ASEAN tentang best practices dan prosedur terkait pertukaran ABK yang telah dilakukan oleh negara masing-masing.
"Setidaknya pada pertemuan ini kita bisa berbagi informasi Kontak Point yang bertanggung jawab terhadap masalah ini di negara masing-masing, sehingga dapat memudahkan komunikasi di masa mendatang," tutupnya.
Sebagai informasi, ASEAN MTWG adalah pertemuan ASEAN di tingkat teknis yang membahas program dan kegiatan di sektor transportasi laut di bawah Kuala Lumpur Transport Strategic Plan (KLTSP) 2016-2025. KLTSP adalah rencana induk 10 tahun untuk sektor transportasi ASEAN yang bertujuan untuk meningkatkan integrasi ekonomi regional.
Dalam MTWG, negara-negara Anggota ASEAN akan bekerja sama dengan mitra dialog seperti Cina, Jepang, dan Republik Korea dan mitra internasional seperti Organisasi Maritim Internasional tentang kepentingan bersama untuk meningkatkan konektivitas, efisiensi, keselamatan, dan keberlanjutan dalam transportasi laut.
Hasil dari pertemuan ini kemudian akan dilaporkan pada tingkat Senior Transport Officials Meeting (STOM) dan akan dilaporkan lagi pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu ASEAN Transport Ministers Meeting (ATM)
Adapun AMTWG ke-39 dibuka oleh Deputy Director General of Marine Department Ministry of Transport Thailand selaku AMTWG Chairman dan dihadiri oleh perwakilan Maritim Administrator negara-negara anggota ASEAN, China, Jepang, Korea (ROK), perwakilan dari IMO, Sekretariat ASEAN dan FASA. (prf/ega)