Penyidikan kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari jadi rebutan antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan KPK. Pendapat fraksi-fraksi di DPR RI pun terbelah pada kasus yang berawal dari pelarian terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra.
Kejagung menyebut Jaksa Pinangki berperan dalam pengurusan PK (Peninjauan Kembali) kasus Djoko Tjandra. Pinangki juga melakukan pertemuan dengan terpidana Djoko Tjandra di Malaysia bersama-sama dengan pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking.
Pertemuan itu diduga untuk keperluan koordinasi dan pengkondisian keberhasilan PK terpidana Djoko Soegiarto Tjandra dengan janji hadiah atau pemberian sebesar USD 500 ribu. Kini Pinangki telah ditahan di Rutan Kejagung. Djoko Tjandra pun juga telah berhasil ditangkap polisi dan kini tengah menjalani penyidikan kasusnya, termasuk soal dugaan suap kepada sejumlah pihak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terbaru, Kejagung menemukan fakta Jaksa Pinangki yang sudah dicopot dari posisinya sebagai Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin) diduga menerima suap dari Djoko Tjandra untuk mengurus Fatwa Mahkamah Agung (MA), Fatwa MA itu dimaksudkan agar Djoko Tjandra tak dieksekusi. Namun niat jahat itu tidak terwujud.
Komisi Kejaksaan (Komjak) pun menyarankan agar kasus jaksa Pinangki ditangani oleh penegak hukum independen seperti KPK. Komjak mengingatkan perlunya menjaga kepercayaan publik terutama terhadap jaksa yang disidik oleh aparat penegak hukum tempatnya bekerja.
"Kami juga menyarankan untuk menjaga public trust Kejaksaan supaya melibatkan lembaga penegak hukum independen seperti KPK. Sebab, yang disidik adalah jaksa sehingga publik perlu diyakinkan prosesnya berjalan transparan, objektif, dan akuntabel," kata Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak saat dihubungi, Selasa (25/8/2020).
Atas saran Komjak itu, KPK menyatakan tengah menunggu inisiatif Kejagung untuk menyerahkan kasus Jaksa Pinangki. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Akan tetapi saya tidak berbicara dengan konsep pengambil-alihan perkara yang memang juga menjadi kewenangan KPK sebagaimana ditentukan dalam pasal 10A UU Nomor 19 Tahun 2019, tetapi lebih berharap pada inisiasi institusi tersebutlah yang mau menyerahkan sendiri penanganan perkaranya kepada KPK," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango kepada wartawan, Kamis (27/8/2020).
![]() |
Sebab, menurut Nawawi, kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara memang idealnya ditangani oleh KPK. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Sebaiknya perkara-perkara dimaksud ditangani oleh KPK karena memang perkara-perkara dengan tipologi seperti itulah yang menjadi domain kewenangan KPK (Pasal 11 UU Nomor 19 Tahun 2019), termasuk perkara yang melibatkan penyelenggara negara," sebut Nawawi.
Untuk itu, Nawawi berharap Kejagung mempunyai inisiatif untuk menyerahkan penanganan kasus itu ke KPK. Menurutnya, jika hal itu dilakukan, akan bisa meningkatkan semangat sinergi dan menumbuhkan semangat publik.
"Yang seperti itu sangat baik dalam semangat sinergitas dan koordinasi dan yang pasti akan lebih menumbuhkan kepercayaan publik pada objektifnya penanganan perkara-perkara dimaksud," tuturnya.
Sejumlah anggota DPR Komisi III DPR RI angkat bicara soal 'rebutan' penyidikan kasus Jaksa Pinangki ini. Komisi III membidangi urusan hukum dan bermitra dengan KPK, Kejaksaan Agung, serta Polri.
Anggota Komisi III DPR F-Gerindra Habiburokhman meminta Kejaksaan Agung diberi kesempatan menggarap kasus ini. Menurutnya tak perlu terbur-buru untuk mengoper kasus Jaksa Pinangki ke KPK.
"Saya pikir kita nggak perlu terburu-buru, jangan emosional. Ini Kan semua sedang berjalan baik yang di Bareskrim maupun yang di Kejagung, nanti ada waktu evaluasinya," kata Habiburokhman kepada wartawan, Kamis (27/8/2020).
Habiburokhman menyadari ada banyak suara sumbang soal penanganan kasus ini. Namun dia meminta publik menyadari Kejaksaan Agung membuat kemajuan di kasus ini. "Buktinya bisa jadi tersangka, tadinya kan orang underestimate. Ini kan masih kick off, santai saja, ini main panjang," sebutnya.
Dalam kasus Djoko Tjandra, petinggi Polri juga ada yang ikut terlibat. Polri telah menetapkan mantan Kadiv Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon dan Mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo dalam kasus Djoko Tjandra. Keduanya mengakui telah menerima suap karena telah membantu pelarian pria yang disebut sebagai Joker itu.
Anggota Komisi III Fraksi PPP Arsul Sani menilai Polri lebih transparan soal keterlibatan jajarannya di kasus Djoko Tjandra dibanding Kejagung. Oleh karena itu, ia justru menyarankan Polri juga ikut menggarap kasus Jaksa Pinangki.
"Komisi III lebih menyoroti soal jaksa Pinangki ini tidak hanya dari sisi tipikornya saja, tapi juga dari sisi dugaan keterlibatan tipidum yang menjadi wewenang Polri. Karena itu, seyogianya Polri mendalami kemungkinan aspek tipidum yang bersangkutan, yang memang jadi kewenangan Polri untuk menyelidiki dan menyidik," papar Arsul.
"Kalau bandingannya adalah Polri, ya, harus diakui bahwa Kejagung kalah transparan kepada publik dalam menangani kasus jaksa Pingaki," sambung Sekjen PPP itu.
Tonton juga 'Komjak Minta Penegak Hukum Independen Ikut Periksa Jaksa Pinangki':
Sementara itu, Fraksi Demokrat setuju apabila kasus jaksa Pinangki diserahkan ke KPK. Namun bukan hanya soal Jaksa Pinangki saja. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat Hinca Pandjaitan juga meminta Polri menyerahkan kasus dugaan suap Djoko Tjandra yang menyeret sejumlah jenderal Bareskrim juga diserahkan ke lembaga antirasuah itu.
"Saatnya Polri dan Kejaksaan Agung berinisiatif dan ikhlas menyerahkan penanganan kasus ini ke KPK. Karena melibatkan jaksa sebagai tersangka, begitu juga lingkungan Bareskrim yang memeriksa tiga polisi sebagai tersangka," ujar Hinca kepada wartawan, Kamis (27/8/2020).
Dengan diserahkan ke KPK, diharapkan tidak ada konflik kepentingan meski saat ini Pinangki sudah dicopot Kejagung. "Dengan menggunakan Pasal 10A UU TPK dan agar penuntasan kasus ini tidak menimbulkan conflict of interest di lingkungan Kejaksaan Agung dan Polri," tambahnya.
Senada dengan Demokrat, Anggota Komisi III Fraksi PAN, Sarifuddin Sudding meminta Kejagung menyerahkan kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari ke KPK. Sudding menilai kasus terkait Djoko Tjandra yang melibatkan Jaksa Pinangki cukup besar. Ia meyakini ada pihak-pihak lain di Kejagung yang ikut terlibat sehingga lebih baik kasus ditangani oleh KPK.
"Untuk menghindari conflict of interest sebaiknya kasus Pinangki diserahkan ke KPK. Karena kasus sebesar Pinangki ini diyakini tidak mungkin main sendiri sebagai bawahan paling tidak atas sepengetahuan atasannya atau pihak-pihak lain," tutur Sudding, Kamis (27/8).
Dengan menyerahkan kasus Pinangki ke KPK, Kejaksaan dinilai akan mendapat kepercayaan publik. Itu artinya, kata Sudding, Kejagung bekerja secara transparan.
"Hal ini juga bisa menumbuhkan public trust pada institusi kejaksaan bahwa ada upaya untuk membuka kasus ini secara terang benderang dan semua pihak yang terlibat dalam kasus tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban hukum," ucapnya.
Berbeda dengan PAN dan Demokrat, Partai NasDem masih memberi kepercayaan kepada Kejagung untuk tetap menangani kasus jaksa Pinangki. Anggota Komisi III Fraksi NasDem Taufik Basari memastikan akan terus melakukan pengawasan.
![]() |
"Tetapi kita harus kawal terus, kita harus awasi terus dalam prosesnya, sehingga kesempatan itu bisa kita berikan dengan catatan, ya. Karena ini juga merupakan pertaruhan bagi kepercayaan publik terhadap Kejagung, keseriusan dalam hal menangani perkara ini sangat-sangat kita harapkan," sebut Taufik Basari, Kamis (27/8).
Politikus yang kerap disapa Tobas itu juga melihat keseriusan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Menurutnya, kasus jaksa Pinangki merupakan momentum bagi Kejagung untuk melakukan 'bersih-bersih' internal.
"Betul, ini adalah momentum yang sangat baik bagi Kejagung untuk menunjukkan bahwa mereka ingin melakukan bersih-bersih di internalnya. Dan saya melihat ada kesungguhan itu di diri Jaksa Agung," tegas Tobas.
Pendapat berbeda datang dari Fraksi Golkar. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar Supriansa setuju kasus jaksa Pinangki diserahkan ke KPK, namun dengan catatan harus ada alasan yang jelas dari Kejagung.
"Nah, kalau memang kejaksaan sendiri meragukan tingkat independensinya untuk memeriksa sesamanya. Saya ulangi ya, bukan saya mengatakan ya. Kalau kejaksaan sendiri meragukan independensinya memeriksa sesamanya, jaksa, dengan mengedepankan hasil yang maksimal demi kepentingan keadilan dan kepuasan publik, saya kira tidak salah, wajar, jika kasus itu diambil alih oleh KPK," kata Supriansa kepada wartawan, Kamis (27/8).
Kejaksaan Agung sudah ankat bicara mengenai polemik ini. Soal harapan KPK agar ada inisiatif penyerahan kasus Jaksa Pinangki, Kejagung mengatakan baik KPK maupun Kejagung sudah memiliki kewenangan tersendiri untuk menyelesaikan kasus yang sedang ditangani sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Penyidikan masing-masing mempunyai kewenangan. Kami para penegak hukum saling men-support itu. Ada namanya korsup, koordinasi dan supervisi. Kami melakukan penyidikan, penuntut umumnya juga di sini, jadi tidak ada yang tadi dikatakan ada inisiatif menyerahkan, tetapi mari kita kembali kepada aturan. Kita sudah melakukan koordinasi dan supervisi," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono di Gedung Bundar Kejagung, Kamis (27/8/2020).
Hari menjelaskan masing-masing pihak sudah memiliki tim penyidik dan penuntut umum untuk menindaklanjuti kasus-kasus korupsi. Untuk itu, menurut Hari, Kejagung hanya tinggal melaksanakan koordinasi dan supervisi saja.
"Perlu diketahui juga kami juga ada penyidik tindak pidana korupsi, penuntut umumnya juga di sini. Teman-teman di KPK demikian juga kan, ada penyidiknya di sana, penuntut umumnya juga di sana. Penuntut umumnya siapa? Dari kami juga. Oleh karena itu, tinggal koordinasi dan supervisi," jelasnya.