Sengkarut urusan Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra belum usai. Satu per satu benang kusut pelarian terpidana perkara kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali itu mulai terurai.
Tiga penegak hukum di negeri ini turun langsung menguliti selubung skandal yang melibatkan Djoko Tjandra. Mulai KPK, Kejaksaan Agung (Kejagung), hingga Bareskrim Polri sendiri membongkar borok pria berjulukan Joker itu.
Seturut dengan pernyataan Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo, ada baiknya membagi tiga peristiwa atau klaster berkaitan dengan Djoko Tjandra. Apa saja?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Klaster Pertama
Klaster pertama disebut Sigit terjadi pada medio 2008-2009. Sigit mengatakan saat itu ada dugaan penyalahgunaan wewenang, tetapi dirinya tidak menyebutkan detail peristiwa apa.
"Klaster di tahun 2008-2009 di mana ada informasi yang nanti akan kami dalami terkait ada dugaan penyalahgunaan wewenang pada saat itu," ujar Sigit.
Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan klaster pertama itu pernah diusut KPK. Kala itu KPK mengusut kasus suap yang menjerat mantan jaksa Urip Tri Gunawan, yang kala itu merupakan ketua tim penyelidik kasus BLBI II.
Saat itu Djoko Tjandra sempat dicekal KPK karena diketahui namanya tersebut dalam percakapan Urip dengan Artalyta Suryani alias Ayin.
Baca juga: Pinangki Kini di Balik Jeruji |
2. Klaster Kedua
Klaster ini merupakan peristiwa pada akhir 2019 saat Djoko Tjandra bersama pengacaranya, Anita Kolopaking, bertemu dengan seorang jaksa bernama Pinangki Sirna Malasari. Klaster ini sudah ditangani Kejagung.
"Klaster kedua, peristiwa di akhir 2019 atau sekitar bulan November 2019, di mana terjadi suatu peristiwa terkait dengan adanya pertemuan Saudara Djoko Tjandra, Saudara P, dan Saudara ADK terkait dengan rencana pengurusan fatwa dan proses PK, terkait dengan kasus tersebut saat ini sudah dilaksanakan penyidikan oleh rekan-rekan kita di kejaksaan," ujar Sigit.
Jaksa Pinangki diduga mengkondisikan pengurusan peninjauan kembali (PK) Djoko Tjandra. Dia diduga menerima suap sebesar USD 500 ribu atau sekitar Rp 7 miliar.
Pinangki pun dijerat dengan Pasal 5 (ayat 1) huruf b UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pasal tersebut mengatur ancaman pidana maksimal 5 tahun penjara.
Berikut bunyi Pasal 5 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Video 'Irjen Napoleon Bonaparte Jadi Tersangka Penerima Suap Djoko Tjandra':
3. Klaster Ketiga
Klaster ketiga ini yang cukup rumit. Klaster ini berkaitan dengan penghapusan red notice atas nama Djoko Tjandra serta penggunaan surat jalan palsu dan terkait perkara suap.
Klaster ini ditangani Bareskrim Polri. Untuk memahaminya, klaster ini akan dibagi menjadi dua, yaitu urusan pidana umum dan pidana korupsi. Berikut ulasannya:
- Pidana umum
Ada 3 nama tersangka yang dijerat Bareskrim dalam hal ini, yaitu Brigjen Prasetijo Utomo, Anita Kolopaking, dan Djoko Tjandra. Ketiganya dijerat berkaitan dengan penggunaan surat jalan palsu dan penghapusan red notice.
Mereka dijerat dengan Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 426 KUHP, Pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP, dan Pasal 223 KUHP.
Pasal 263
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 426
(1) Seorang pejabat yang diberi tugas menjaga orang yang dirampas kemerdekaannya atas perintah penguasa umum atau atas putusan atau ketetapan pengadilan, dengan sengaja membiarkan orang itu melarikan diri atau dengan sengaja melepaskannya, atau
memberi pertolongan pada waktu dilepas atau melepaskan diri, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 221
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh penjahat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;
2. barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun olsh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
Pasal 223
Barang siapa dengan sengaja melepaskan atau memberi pertolongan ketika meloloskan diri kepada orang yang ditahan atas perintah penguasa umum, atas putusan atau ketetapan hakim, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
- Pidana khusus
Dalam perkara ini, Bareskrim Polri menetapkan empat orang tersangka yang berperan sebagai pemberi suap dan penerima suap. Siapa saja?
Pemberi
- Djoko Tjandra
- Tommy Sumardi
Penerima
- Irjen Napoleon Bonaparte
- Brigjen Prasetijo Utomo
Pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 juncto Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan penerima suap dijerat Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 dan Pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"Barang bukti 20 ribu US, surat, HP, laptop dan CCTV yang dijadikan barang bukti," ujar Argo.
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).