Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara terkait penyerangan acara doa bersama jelang pernikahan anak Habib Umar Assegaf di Solo. MUI meminta semua pihak agar menjaga kedamaian dan ketentraman masyarakat.
"Mari kita semua berusaha menjaga kedamaian dan ketentraman masyarakat," kata Wasekjen MUI Zaitun Rasmin, kepada wartawan, Kamis (13/8/2020).
Zaitun menyebut setiap pihak harus menghindari aksi reaksi. Dia tak membenarkan atas aksi main hakim sendiri yang terjadi dalam penyerangan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di satu sisi tidak boleh main hakim sendiri, di sisi lain tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa memancing timbulnya kesalahpahaman atau mengundang reaksi pihak-pihak tertentu tanpa adanya komunikasi yang cukup," jelasnya.
Dia mengatakan pihak yang akan mengelar sebuah acara harus mempertimbangkan kemungkinan terburuk dari pihak yang tidak menyukai. Menurutnya, agar hal yang tak diinginkan terjadi bisa melapor terlebih dahulu kepada pihak keamanan dalam hal ini polisi.
"Yang tidak setuju atau tidak suka harus menahan diri dan menempuh jalur-jalur sesuai aturan yang berlaku dan etika di masyarakat," katanya.
"Polisi tentu perlu menangani ini dengan sebaik-baiknya. Memilih jalan penyelesaian yang paling adil bagi semua dan lebih menjamin ketentraman dan persatuan masyarakat," sambungnya.
Diberitakan sebelumnya, massa menyerang acara doa menjelang pernikahan anak Habib Umar Assegaf pada Sabtu (8/8) waktu magrib. Tiga orang terluka dalam kejadian ini, salah seorang di antaranya Habib Umar Assegaf. Dia sempat dirawat di rumah sakit sehingga batal menjadi wali nikah putrinya yang digelar pada Minggu (9/8).
Atas peristiwa itu, tujuh orang pelaku penyerangan acara doa jelang pernikahan putri Habib Umar Assegaf di Solo telah ditangkap. Lima orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.
Diwawancara terpisah, kuasa hukum tersangka, Hery Dwi Utomo mengungkap alasan di balik penyerangan tersebut.
Hery menyebut massa menduga keluarga Umar Assegaf menganut aliran yang tidak sepaham dengan mereka. Hal itu berdasarkan hasil identifikasi warga sekitar rumah almarhum Assegaf bin Jufri di Mertodranan, Pasar Kliwon, Solo.
"Sebetulnya kalau kita melihat dari kejadian itu, memang masyarakat dan massa di lokasi mensinyalir itu adalah kegiatan sekte-sekte tertentu," kata Hery.
"Memang tidak ada identitas tertentu yang terlihat, tetapi dari orang-orang Pasar Kliwon dari komunitas Arab, mereka sudah dapat dibedakan kelompoknya," ujarnya.